Evi Novida Ginting menilai, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang salah satunya memberhentikan dirinya, cacat hukum. Dia yakin, keputusan KPU sudah tepat karena menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Evi Novida Ginting tidak menerima pemberhentian dirinya dari jabatan komisioner Komisi Pemilihan Umum oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Evi akan menggugat putusan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Evi dalam jumpa pers yang disiarkan secara daring lewat akun resmi Komisi Pemilihan Umum di Facebook, Kamis (19/3/2020), menilai, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang salah satunya memberhentikan dirinya, cacat hukum. Selain karena sejumlah alasan formal, juga terkait hal yang substansial.
Ia menjelaskan, kasus itu bermula dari gugatan calon anggota DPRD Kalimantan Barat (Kalbar) dari Partai Gerindra, Hendri Makaluasc, ke Mahkamah Konstitusi (MK), terhadap penetapan rekapitulasi suara Pemilu Legislatif 2019 untuk wilayah Sanggau, Kalbar, oleh KPU Kabupaten Sanggau.
Putusan MK lantas memutuskan mengoreksi raihan suara Makaluasc yang berkontestasi di daerah pemilihan (dapil) Kalbar 6, dari semula 5.325 suara menjadi 5.384 suara. KPU Kalbar kemudian berkonsultasi ke KPU terkait dengan putusan itu. KPU Kalbar pun diminta menjalankan putusan MK.
Sebagaimana dikutip dari putusan MK Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019, perolehan suara yang benar untuk Makaluasc memang 5.384 suara. Putusan tersebut tidak mengoreksi perolehan suara Cok Hendri Ramapon, calon anggota DPRD Kalbar terpilih dari dapil Kalbar 6.
Namun, selanjutnya, saat Makaluasc mengajukan sengketa ke Bawaslu Kalbar, Bawaslu memutuskan mengoreksi suara Ramapon. Koreksi itu membuat Makaluasc menjadi peraih suara terbanyak sehingga dia yang seharusnya terpilih.
Putusan Bawaslu itu, menurut Evy, dilaksanakan oleh KPU Kalbar. Namun, KPU Pusat menilai tindakan KPU Kalbar tidak tepat karena putusan MK final dan mengikat. Karena itu, KPU Kalbar diminta untuk tetap melaksanakan putusan MK. Ramapon pun ditetapkan sebagai calon terpilih dan dia saat ini sudah menjabat sebagai anggota DPRD Kalbar.
Cabut pengaduan
Selain itu, Evi juga melihat kejanggalan sikap DKPP yang melanjutkan pengaduan Makaluasc sekalipun dia telah mencabut pengaduan pada 13 November 2019. Hal lain yang, menurut dia, tidak tepatialah rapat pleno pengambilan putusan DKPP hanya diikuti empat majelis DKPP atau kurang dari ketentuan minimal sebanyak lima anggota majelis DKPP.
Sebelumnya, anggota DKPP, Ida Budhiati, menyatakan, putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Presiden memiliki waktu paling lambat tujuh hari untuk melaksanakan putusan itu setelah putusan dibacakan, Kompas (19/3/2020).
Kredibilitas dipertaruhkan
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor melihat, pemecatan Evi berpotensi membuat publik semakin tidak percaya kepada KPU. Ini karena sebelumnya Wahyu Setiawan diberhentikan dari jabatan anggota KPU karena diduga menerima suap dalam perkara pergantian antarwaktu anggota DPR. Wahyu ditangkap dalam operasi tangkap tangan oleh KPK, awal Januari 2020.
Padahal, tahun ini, KPU dihadapkan pada agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang serentak digelar di 270 daerah. Pemberhentian dua anggota KPU itu, selain bisa membuat KPU tidak dipercaya publik ataupun peserta pilkada, juga bisa berimbas negatif pada persiapan penyelenggaraan pilkada.
Dengan dua anggota diberhentikan, saat ini tersisa lima anggota KPU. Pengganti Wahyu Setiawan sebenarnya sudah disetujui oleh DPR, tetapi hingga kini Presiden Joko Widodo belum melantiknya.