Kelembagaan Inklusif, Jalan Kemajuan Indonesia
Kemampuan mewujudkan lapangan bermain yang setara bagi setiap warga negara dengan menginklusifkan kelembagaan politik dan ekonomi sangat menentukan keberhasilan Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045.
Pengantar Redaksi
Menyambut kemerdekaan ke-75 tahun Indonesia pada 17 Agustus 2020 dan ulang tahun ke-55 Harian “Kompas” pada 28 Juni mendatang, Harian “Kompas” mengadakan rangkaian diskusi panel menyosong 100 tahun Indonesia pada 2045. Diskusi pertama berlangsung Januari 2020 dengan panelis Rektor Unika Atmajaya Jakarta A Prasentyantoko, pengajar Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika, Executive Director CSIS Philip J Vermonte, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro; dan Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Turro S Wongkaren. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, A Tomy Trinugroho, Dewi Indriastuti, Anthony Lee, dan M Zaid Wahyudi.
Kemampuan mewujudkan lapangan bermain yang setara bagi setiap warga negara dengan menginklusifkan kelembagaan politik dan ekonomi sangat menentukan keberhasilan Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menuju ke arah itu, di antaranya memperbaiki jaminan kebebasan sipil serta tata kelola pemerintahan yang baik.
Imaji Indonesia menjadi negara maju diutarakan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Majelis Permusyawaratan Rakyat saat dilantik sebagai Presiden RI untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019. Presiden Jokowi memimpikan Indonesia, saat berusia 100 tahun, sudah menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun.
Adapun pada tahun 2019, pendapatan per kapita per tahun Indonesia masih 3.927 dollar Amerika Serikat (AS), atau setara Rp 54,9 juta (1 dollar AS senilai Rp 14.000). Dalam kategori Bank Dunia, Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah bawah (1.026-3.995 dollar AS).
Jokowi menetapkan lima program prioritas di periode kedua pemerintahannya sebagai fondasi bagi transformasi menuju negara maju. Lima program itu ialah membangun infrastruktur, mengembangkan sumber daya manusia, memangkas kendala regulasi, menyederhanakan birokrasi, dan mentransformasikan ekonomi dari berbasis sumber daya alam menuju manufaktur serta jasa modern.
Sebagian besar program prioritas tersebut terkait langsung dengan ekonomi. Meski demikian, hal itu juga perlu disokong perubahan yang lebih struktural, yakni kelembagaan politik-ekonomi. Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail (2012) meyakini kelembagaan politik dan ekonomi menentukan apakah sebuah negara menjadi maju dan menyejahterakan rakyat, atau menjadi negara gagal.
Menurut mereka, pelembagaan politik inklusif dibutuhkan untuk menunjang ekonomi inklusif lewat pengaturan agar pasar tak menguntungkan segelintir kelompok, mampu meredistribusi sumber daya, dan menjamin kepastian hukum. Ekonomi inklusif akan memberikan lapangan bermain yang setara bagi masyarakat, yang pada akhirnya menarik masyarakat aktif berpartisipasi dalam proses ekonomi. Inovasi dan kreativitas masyarakat yang berkembang akan menunjang perbaikan perekonomian. Agar inovasi itu muncul secara meluas dari masyarakat, maka kebebasan harus dilindungi.
Pertumbuhan berkualitas
Demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik menjadi penting untuk mewujudkan kelembagaan inklusif, sekaligus memeratakan pertumbuhan ekonomi. Sebab, pertumbuhan ekonomi saja tidak bisa membuat sebuah negara menjadi maju dalam berbagai sektor.
Simulasi data produk domestik bruto (PDB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Laporan Kebebasan Freedom House beberapa negara berkembang serta maju menunjukkan, negara di Eropa dan Amerika Serikat cenderung sudah terkonsolidasi; secara ekonomi kaya, pembangunan manusia tinggi, dan demokratis.
Simulasi itu menunjukkan, pada 1997, ekonomi China membesar dibandingkan 1995, tetapi IPM negara ini tak menjadi lebih baik, atau bergerak ke kuadran negara dengan kualitas pembangunan manusia tinggi. Tingkat kebebasan China pun tak bergeser. Pada 2017, skala ekonomi China sudah sangat besar. Namun, tingkat kebebasannya tak banyak membaik.
Hal itu dapat memunculkan aspirasi bagi para otokrat bahwa tak diperlukan kebebasan sipil (demokrasi) yang baik untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Meski demikian, di tengah ekonominya yang berkembang pesat, IPM China tak membaik secepat pertumbuhan ekonominya. Pada 2018, saat China telah memiliki PDB terbesar kedua di dunia, negara itu memiliki skor IPM 0,758, dan berada di peringkat ke-85 dari 189 negara. Sebagai perbandingan, AS yang memiliki PDB terbesar di dunia mempunyai IPM 0,92 dan menempati peringkat ke-15.
Perbaikan IPM China yang lambat bisa disebabkan persoalan kelembagaan politik-ekonomi yang belum inklusif. Hal ini membuat “kue ekonomi” tak merata.
Adapun IPM merupakan indikator dasar untuk melihat kualitas hidup masyarakat di sebuah negara. Indeks ini antara lain mengukur tingkat harapan hidup, rata-rata waktu sekolah; rata-rata waktu sekolah yang dijalani penduduk berusia 25 tahun ke atas, serta pendapatan nasional bruto per kapita.
Pekerjaan rumah
Indonesia dari sisi PDB juga sudah masuk jajaran negara papan “atas”. RI merupakan anggota G-20, yakni 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Namun, IPM Indonesia pada tahun 2018 masih berada di peringkat ke-111. Dari sisi kebebasan, sejak reformasi 1998, kondisi Indonesia membaik, tetapi belum maksimal.
Indeks Demokrasi 2019 dari The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy) dengan nilai 6,48 dari nilai maksimal 10. Indonesia mendapat nilai paling rendah di aspek kebebasan sipil (5,59). Empat aspek lainnya ialah budaya politik (5,63), partisipasi politik (6,11), keberfungsian pemerintah (7,14), serta proses elektoral dan pluralisme (7,92).
Dalam laporan tahun 2019, Freedom House juga menempatkan Indonesia dalam kategori “bebas sebagian”. Dari tiga aspek yang dinilai, kebebasan sipil juga menjadi yang terburuk dengan skor 4. Dari skala 1-7, makin tinggi nilainya, semakin tidak bebas aspek itu.
Ekosistem yang menjamin kebebasan individu, sepanjang tak bertentangan dengan hukum dan hak individu lain, harus dijaga dengan baik. Negara harus hadir menjaga kebebasan warganya lewat regulasi dan penegakannya secara imparsial.
Namun, masyarakat juga tak boleh berpangku tangan. Seperti disampaikan Acemoglu dan Robinson dalam The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty (2019), negara harus kuat, tetapi masyarakat sipil juga harus kuat guna memastikan pemerintah menjaga kepastian hukum dan tertib sosial, serta kebebasan masyarakat tak dilanggar pemerintah.
Sementara itu, dari aspek tata kelola pemerintahan yang baik, masih banyak perbaikan harus dilakukan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International tahun 2019 menempatkan Indonesia di posisi ke-85 dari 180 negara, dengan nilai 40. Dari skala 0-100, semakin tinggi skornya, negara itu dipersepsikan semakin bebas korupsi.
Negara harus kuat, tetapi masyarakat sipil juga harus kuat guna memastikan pemerintah menjaga kepastian hukum dan tertib sosial,
Beberapa sektor yang mendapat catatan dari IPK 2019 ialah pengendalian pemerintah terhadap korupsi, akuntabilitas dana publik, korupsi birokrasi, dan penyalahgunaan kewenangan oleh cabang-cabang kekuasaan negara. Selain itu, penegakan hukum yang buruk dinilai menyebabkan korupsi berkembang bebas. Indeks Penegakan Hukum 2019 yang disusun The World Justice Project menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-62 dari 126 negara yang dikaji.
Tata kelola pemerintahan yang baik perlu didekati dengan reformasi di tiga aspek, yakni administrasi, sistem hukum, dan politik. Dari sisi administrasi, birokrasi perlu dijalankan berbasis sistem meritokrasi dan remunerasi yang layak. Selain itu, diperlukan peningkatan kompetensi aparatur birokrasi serta penerapan sanksi dan penghargaan.
Sementara itu, dari sisi sistem hukum, independensi lembaga penegak hukum harus diperkuat, sedangkan aparaturnya mendapat remunerasi yang layak. Penegakan aturan main dijalankan secara konsisten dan hak kepemilikan dilindungi.
Dari aspek politik, mekanisme pengawasan diperkuat. Keputusan dalam berbagai tingkatan dan lembaga harus berlangsung transparan. Tidak kalah penting, sirkulasi elite dibuat lebih dinamis.
Pembenahan-pembenahan itu tak bisa dilakukan setengah hati. Apabila jaminan kebebasan sipil tak dibenahi dan tata kelola pemerintahan tidak membaik, lapangan bermain yang setara di berbagai bidang, termasuk ekonomi, sulit terwujud.
Hal ini menyebabkan alih-alih inklusif, kelembagaan politik-ekonomi justru menjadi ekstraktif. Artinya, sumber daya diserap demi kemakmuran kelompok yang berkuasa. Kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat melebar, sehingga memicu ketidakpuasan sosial.
Kendati begitu, juga ada aspek positif demokrasi di Indonesia yang memberi harapan perbaikan. Belakangan ini, sebagai salah satu buah otonomi daerah, muncul tanda-tanda kelahiran kepemimpinan perkotaan yang kian berperan penting bagi masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena semakin banyak persoalan teknokratik dan konkret yang hanya bisa diselesaikan di tingkat pemerintah daerah; oleh para gubernur, walikota, serta bupati. Situasi itu tak spesifik terjadi di Indonesia, tetapi terjadi pula di berbagai belahan dunia.
Karena itu, selain menjaga kebebasan sipil dan memperbaiki tata kelola pemerintahan, otonomi daerah dan desentralisasi diperkuat guna menyokong Indonesia Maju 2045. Pertanyaannya, bisa dan maukah perbaikan-perbaikan struktural itu dilakukan sejak dini?