KPU Rumuskan Langkah Pasca-DKPP Berhentikan Salah Satu Anggotanya
KPU diminta menjelaskan kronologi hingga terjadi pemberhentian dengan tetap salah satu anggotanya, Evi Novida Ginting. Penjelasan itu penting mengingat kredibilitas KPU secara kelembagaan dipertaruhkan.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum tengah merumuskan langkah-langkah yang akan ditempuh pasca-putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang memberhentikan secara tetap salah satu anggota KPU, Evi Novida Ginting. KPU akan segera mengumumkan langkah-langkah itu setelah disepakati bersama.
”Kami belum tahu (langkah yang akan diambil) karena putusan ini akan menyangkut beberapa pihak untuk menindaklanjutinya. Sekarang sedang proses perumusan langkah yang akan ditempuh,” kata Ketua KPU Arief Budiman saat dihubungi, Kamis (19/3/2020), dari Jakarta.
Pada Rabu (18/3/2020), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan secara tetap Evi dari jabatannya sebagai anggota KPU dan memberi peringatan terakhir bagi lima anggota KPU lainnya. Evi diberhentikan karena dinilai terbukti melanggar kode etik terkait dengan perolehan suara dua calon anggota legislatif (caleg) Partai Gerindra di daerah pemilihan Kalimantan Barat 6, yakni antara Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon, dalam Pemilu 2019.
Menurut Arief, KPU sudah membahas putusan tersebut secara internal pada Rabu malam atau beberapa jam setelah putusan DKPP dibacakan. Pembahasan mengenai tindak lanjut putusan itu masih dilakukan hingga kini.
Kredibilitas dipertaruhkan
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor mengatakan bahwa apa yang terjadi pada KPU merupakan kejadian menyedihkan. Hal ini terutama karena sebelumnya bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan, juga diberhentikan tetap oleh DKPP karena diduga terlibat korupsi. Kasus Wahyu sendiri saat ini masih ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Firman mengatakan, kasus-kasus terkait dengan dua anggota KPU itu terkait dengan proses seleksi anggota KPU yang dinilai kurang ketat. Selain itu, lingkungan politik juga sangat memengaruhi seseorang. Hal ini membuat seseorang yang sebelumnya memiliki integritas menjadi ikut terpengaruh karena terpaan dan paparan dari pusaran politik yang tidak sehat.
”(Seseorang) tidak bisa melepaskan diri, (karena) lingkungan politik kita belum kondusif bagi politik yang bermartabat,” ujar Firman.
Hal ini, imbuh Firman, menyebabkan partai politik juga tidak kunjung menjadi baik. Kader-kader partai yang dihadapkan pada suatu realitas buruk. Ini di antaranya mewujud dalam pertarungan sesama kader dalam partai. Belum lagi, ujar Firman, faktor penegakan hukum secara personal dan parsial.
”Ini merupakan efek dari situasi sulit yang buruk bagi suatu bangsa,” kata Firman.
Pemberhentian tetap terhadap Evi itu juga dinilai Firman akan memiliki dampak berkepanjangan, khususnya dalam konteks Pilkada 2020. Ia menuturkan, jika kelak ada pihak-pihak yang tidak menerima hasil pilkada, KPU akan sangat mudah disalahkan. Sejumlah peristiwa yang terjadi, termasuk dua kali pemberhentian tetap anggota KPU oleh DKPP, akan menjadi rujukan dalam memberikan penilaian terhadap KPU.
Menurut Firman, saat ini yang harus dilakukan adalah kontestan pilkada mesti benar-benar menjaga dirinya dari kecurangan. Tim-tim terkait mesti dibentuk sekalipun akan menyebabkan biaya politik tinggi. Namun, menurut dia, harga itu harus dibayar untuk memastikan pilkada tidak menjadi masalah.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, saat dihubungi di Padang mengatakan, KPU harus menjelaskan kronologis kasus tersebut. Hal itu penting menyusul kredibilitas KPU secara kelembagaan dipertaruhkan.
Ia mengatakan bahwa keputusan DKPP yang harus dijalankan karena bersifat final dan mengikat adalah satu hal. Akan tetapi, hal lain yang perlu dilakukan adalah menjelaskan secara kronologis pelanggaran etik yang terjadi, termasuk menjelaskan keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi dalam kasus tersebut.
Merujuk pada putusan DKPP Nomor Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019, pada bagian pokok jawaban teradu I hingga VII disebutkan bahwa sesungguhnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 154-02.20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 telah meliputi putusan Bawaslu RI Nomor: 83/LP/ADM/RI/00.00/VIII/2019 tanggal 2 September 2019. Adapun putusan Bawaslu itu keluar pada 2 September 2019. Teradu I hingga VII yang adalah ketua dan para anggota KPU menjawab bahwa dengan demikian, menjalankan putusan MK sejatinya amar putusan Bawaslu telah terpenuhi.
Menurut Fadli, keduanya cenderung tidak bertentangan. Karena itulah, KPU perlu melakukan pemeriksaan secara kelembagaan tentang apa yang sesunguhnya terjadi.