ASN Bekerja di Rumah, Wajib Lapor hingga Hemat Anggaran
Sistem bekerja dari rumah disertai pengawasan ketat dari atasan mendorong aparatur sipil negara untuk melek teknologi. Pemanfaatan teknologi informasi yang lebih luas dapat mengefisienkan anggaran.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Bekerja di rumah, Diah Palupi tidak pernah jauh dari laptopnya. Begitu pula dengan telepon genggamnya. Bekerja di rumah bukan berarti pegawai di Badan Kepegawaian Negara tersebut bisa berleha-leha.
”Di rumah enggak berhenti pegang handphone (telepon genggam) dan laptop. Kami juga ada klausul wajib hadir saat dipanggil ke kantor. Jadi, harus standby terus, ready on call,” kata Diah saat dihubungi di Jakarta, Rabu (18/3/2020). Ini adalah hari kedua dia bekerja di rumah setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan bekerja di rumah untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Di Badan Kepegawaian Negara (BKN), komposisi pegawai yang bekerja di kantor dan bekerja dari rumah dipukul rata, 50 persen banding 50 persen. Penetapan komposisi 50 persen pegawai tetap bekerja di kantor untuk memastikan pelayanan publik tetap berjalan, misalnya pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di BKN yang tetap dibuka Senin-Jumat.
Adapun 50 persen pegawai dapat bekerja dari rumah memperhatikan aspek sejumlah layanan publik milik BKN yang bisa dilakukan secara daring, misalnya proses verifikasi dan validasi hasil seleksi kompetensi dasar (SKD) calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan data kebutuhan PNS.
Keterikatan Diah yang menjabat Kepala Subbagian Hubungan Media dan Antar-Lembaga BKN dengan telepon genggam dan laptop bukan semata-mata karena tugasnya berhubungan langsung dengan media, melainkan memiliki kewajiban melaporkan detail hasil pekerjaan selama di rumah kepada atasan setiap sore hari, selayaknya pulang kantor, pukul 16.00.
Tak hanya itu, dia juga wajib memasukkan laporan itu ke aplikasi e-kinerja, aplikasi BKN untuk mengukur dan memantau kinerja dari ASN di BKN.
”Selama bekerja di rumah, wajib lapor tiap hari, mengerjakan apa dan hasilnya. Tuntutan akuntabilitas memang menjadi lebih tinggi, tetapi pola ini baik sehingga kerja kami terukur,” tutur Diah.
Kontrol yang ketat dari atasan juga dirasakan Anggun Primasari. Anggota staf Humas Kementerian Dalam Negeri ini mengatakan, tak mungkin bekerja di rumah bisa berleha-leha karena atasan selalu memberi target setiap hari dan secara berkala memonitor capaian dari target tersebut.
Sama seperti Diah, Anggun juga diwajibkan melaporkan hasil pekerjaannya ke aplikasi Sikerja. Aplikasi untuk mengukur kinerja aparatur sipil negara (ASN) di Kemendagri.
Di lingkungan Kemendagri, pola penetapan komposisi pegawai yang bekerja di kantor dan bekerja dari rumah melalui kesepakatan di unit kerja masing-masing. Di bagian humas, para pegawai didata terlebih dahulu siapa yang ingin bekerja di kantor selama sepekan awal, lalu bergantian dengan yang lain di pekan selanjutnya.
”Kalau ada pekerjaan yang penting banget, nanti atasan akan beri catatan bahwa pegawai tersebut belum bisa bekerja dari rumah dahulu, akan digeser,” kata Anggun.
Belajar teknologi
Dengan bekerja di rumah, sejumlah ASN pun dituntut untuk belajar memanfaatkan teknologi informasi, salah satunya telekonferensi.
Di dunia pendidikan, misalnya, Novi Diah Haryanti, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan, mulai Senin kemarin, dirinya telah melakukan pembelajaran jarak jauh. Dia menggunakan media Google Classroom untuk telekonferensi dan grup Whatsapp sebagai ”modal perkuliahan”.
Untuk menerapkan hal itu, Novi harus belajar terlebih dahulu. ”Ini hal yang baru. Saya mengajar pakai Google Classroom baru pertama kali. Ternyata mereka (mahasiswa) enggak butuh kami ajarkan, justru kami kadang kala yang belajar,” katanya.
Sebelumnya, Novi harus terlebih dulu mengirim materi pelajaran kepada mahasiswanya sehingga mereka sudah membaca materi tersebut sebelum telekonferensi dimulai.
Tantangan belajar daring ini, menurut dia, adalah keterbatasan kuota data internet dan sinyal. Mungkin ada juga mahasiswa yang tak memiliki gawai atau tidak bisa mengakses Google Classroom karena mereka lupa alamat e-mail-nya.
Terlepas dari tantangan yang ada, kehadiran teknologi informasi sangat membantu.
”Enggak kebayang kalau tak ada teknologi informasi dan internet lalu terjadi (wabah Covid-19) begini. Kami bisa berhenti belajar,” ujar Novi.
Dengan teknologi yang dipakai, dia melanjutkan, proses kontrol kehadiran
mahasiswanya pun menjadi jauh lebih mudah. Sebab, jumlah peserta telekonferensi tercatat. ”Saya juga minta mereka merespons dan menanggapi pembelajaran,” tuturnya.
Sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Novi juga mempunyai tanggung jawab khusus untuk memastikan perkuliahan di bawah program studinya tetap berjalan di tengah wabah Covid-19. Oleh karena itu, dia selalu meminta kepada dosen yang ada di bawah program studinya agar mengundang dia masuk ke dalam kelas virtual mereka.
”Jadi, saya tahu benaran kalau perkuliahan tetap berjalan. Jadi, mahasiswa tetap dapat haknya,” ujar Novi.
Perubahan komunikasi
Wabah Covid-19 juga mengubah model komunikasi di pemerintahan. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto mengatakan, rapat rutin pejabat eselon satu dengan menteri yang mewajibkan kehadiran fisik saat ini bisa menggunakan telekonferensi atau teknologi informasi lainnya.
Pola serupa juga terjadi saat para pejabat eselon satu berkomunikasi dengan pejabat di pemerintah daerah. Jadi, mereka tak perlu jauh-jauh ke daerah atau sebaliknya dari daerah ke Jakarta, tetapi cukup menyiapkan peralatan teknologi informasi yang mendukung telekonferensi.
Ardian menilai, model komunikasi seperti itu positif karena dapat mengefisienkan anggaran dan waktu.
”Perjalanan dinas, kan, konteksnya dua, yakni koordinasi dan konsultasi. Kalau dengan video call, telekonferensi, sudah bisa terpenuhi, ya, enggak harus datang. Itu efisien. Ini dampak positifnya, mau enggak mau mendorong siapa pun harus mengenal smartphone, fasilitas video conference. Mau enggak mau, kan, kondisi ini menciptakan budaya baru bagaimana orang berkomunikasi dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada,” jelasnya.
Ardian pun membeberkan caranya memonitor kinerja stafnya yang bekerja dari rumah. Dia mewajibkan mereka untuk setiap hari melaporkan kegiatan selama di rumah. Tak hanya itu, hasil kerjaan juga harus dikirim.
”Buktinya dikirim. Misalnya, menelaah surat, menganalisis perda pajak retribusi, output harus ada, bukan berarti kami lepas begitu saja. Prinsipnya bekerja di rumah itu pasti ada output, output diurai, mana bukti otentiknya. Nanti divalidasi pimpinan,” tambahnya.
Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi Sugandi, menyampaikan, pemanfaatan teknologi informasi menjadi pelajaran yang bisa dipetik dari sistem bekerja dari rumah.
Ini, menurut dia, sangat baik untuk mengefisienkan anggaran, seperti rapat-rapat bisa dilakukan jarak jauh, tak ada lagi perjalanan ke luar negeri, atau kunjungan kerja ke daerah lain. Semua cukup dengan telekonferensi. ”ASN menjadi melek dengan dunia digitalisasi atau rapat virtual,” kata Yogi.
Mewujudkan cita-cita pemerintahan berkelas dunia, birokrat harus semaksimal mungkin memanfaatkan teknologi. Namun, infrastruktur internet juga harus mendukung.