Praperadilan Nurhadi Kembali Ditolak, KPK Minta Nurhadi Menyerahkan Diri
Hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Hariyadi, menolak praperadilan Nurhadi dkk karena mereka berstatus buron. Selain itu, PN Jaksel sudah pernah menolak praperadilan Nurhadi. KPK minta Nurhadi dkk menyerahkan diri.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praperadilan yang diajukan oleh bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi kembali ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan ditolaknya permohonan praperadilan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta Nurhadi dan dua buronan lainnya dalam kasus sama yang menjerat Nurhadi untuk menyerahkan diri.
Hakim tunggal pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Hariyadi, Senin (16/3/2020), menolak permohanan praperadilan yang diajukan oleh Nurhadi bersama dengan menantunya, Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto. Ketiganya ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan perkara yang dilakukan sekitar 2015-2016.
Hariyadi mengabulkan eksepsi KPK sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, dan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
KPK dalam eksepsinya menggunakan asas ne bis in idem untuk mematahkan permohonan Nurhadi. Asas hukum tersebut melarang seseorang diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah memiliki putusan. Asas tersebut menjadi kekuatan KPK karena pada sidang pertama, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Akhmad Jaini, telah menolak permohonan praperadilan Nurhadi, Selasa (21/1/2020).
Hal lain yang membuat permohonan praperadilan Nurhadi ditolak adalah karena ia dan dua tersangka lain sudah ditetapkan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh KPK sejak Kamis (13/2/2020). Ketiganya hingga saat ini belum berhasil ditemukan oleh KPK.
Tim Biro Hukum KPK yang diwakili oleh Efi Laila Kholis, Suryawulan, dan Muhammed Hafez menyambut positif putusan dari hakim. Efi mengatakan, eksepsi dari KPK dapat diterima karena Nurhadi sudah mengajukan praperadilan pada 2019 dan ditolak.
”Terkait status DPO, kuasa hukum pemohon juga mengatakan bahwa praperadilan diajukan sebelum penetapan DPO. Namun, hakim tidak mempertimbangkan itu. Mau sebelum atau sesudah penetapan DPO, SE MA (surat edaran Mahkamah Agung) tersebut tetap dihitung,” kata Efi.
SE MA dimaksud adalah SE MA Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Praperadilan Seorang Buron. Surat edaran ini dikeluarkan MA karena praperadilan sering disalahgunakan untuk menghindar dari penegakan hukum.
Dengan kembali ditolaknya permohonan praperadilan Nurhadi, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri meminta Nurhadi dan dua buronan lainnya untuk menyerahkan diri.
KPK saat ini pun masih berupaya mencari mereka. Warga masyarakat yang mempunyai informasi terkait keberadaan mereka diharapkan melapor kepada KPK.
Kuasa hukum Nurhadi, Ignatius Supriyadi, menghormati putusan hakim yang menolak permohonan praperadilan kliennya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai, putusan hakim sudah tepat. ”Jika dikabulkan justru menjadi aneh dan membuat ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sebelum perkara pokok disidangkan, praperadilan memang dapat diajukan oleh tersangka. Meski demikian, ada batasan yuridis yang tidak memungkinkan seseorang mengajukan praperadilan lebih dari satu kali, yaitu jika para pihak pemohon dan termohon sama serta dasar hukumnya sama.