Profesionalisme Kejaksaan Dipertaruhkan dalam Kasus Paniai
Independensi dan profesionalisme Kejaksaan Agung dinilai dipertaruhkan dalam penegakan hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, tahun 2014. Sebulan berlalu, kejaksaan belum tuntas menunaikan tugasnya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebulan berlalu, Kejaksaan Agung belum menyelesaikan penelitian berkas perkara hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, tahun 2014. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menyebutkan, profesionalisme kejaksaan dipertaruhkan dalam kasus ini.
Ditemui pada Jumat (13/3/2020) di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, pihaknya masih meneliti berkas penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang kasus Paniai yang diduga merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
”Kami masih penelitian (berkas penyelidikan). Misalnya, belum lengkap (syarat formal dan materiilnya),” kata Burhanuddin.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) Ali Mukartono mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, penyediaan materi perkara, termasuk menyediakan bukti, merupakan tanggung jawab penyelidik, yakni Komnas HAM. Adapun tugas Jaksa Agung menilainya, dan jika memenuhi persyaratan, kasusnya akan ditingkatkan ke penyidikan.
Ali mengatakan, karena berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai masih belum lengkap syarat formal dan materiilnya, Jaksa Agung akan memberikan petunjuk mengenai hal itu, semisal petunjuk untuk mencari alat bukti tertentu.
Menurut Ali, selama ini, tidak dilanjutkannya berkas kasus dugaan pelanggaran HAM yang diselidiki Komnas HAM juga karena tidak terpenuhinya syarat formal dan materiil. Kejagung memandang berkas belum lengkap, sedangkan Komnas HAM menyatakan berkas penyelidikan sudah cukup.
”Undang-undang memberi kewenangan kejaksaan untuk menilai. Kalau memang kurang, agar dikembalikan dengan diberi petunjuk. Kalau kita taat undang-undang, mestinya dipenuhi karena yang nanti mempertahankan di pengadilan, kan, jaksa. Jaksa butuh ini atau itu. Itu yang tidak dipenuhi. Makanya, kemudian berkas penyelidikan bolak balik,” ujar Ali.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani berpandangan, selama ini alasan syarat formal dan materiil dari berkas penyelidikan yang tidak lengkap telah menjadi pola Kejagung untuk menghindar, menolak, dan menggantungkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Padahal, Komnas HAM sebagai penyelidik, dinilainya, sudah cukup menemukan adanya bukti permulaan berupa fakta peristiwa serta adanya dugaan tindak pidana dan unsur pelanggaran HAM berat.
”Jangan sampai karena dalam kasus ini ditemukan dugaan keterlibatan pihak TNI dan karena kasus ini berkaitan dengan Papua, Jaksa Agung menjadi tidak berani atau menghindar untuk melakukan penyidikan kasus ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Jika demikian, yang dipertaruhkan adalah independensi dan profesionalisme Jaksa Agung,” kata Yati.
Menurut Yati, sikap Jaksa Agung tersebut menegaskan kembali potret buruk dan
lemahnya akuntabilitas negara dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Hal itu tidak saja akan melestarikan impunitas, tetapi juga berdampak pada terulangnya peristiwa serupa.