Ambang Batas Parlemen 7 Persen, Upaya Kembali ke Orde Baru
Partai politik yang tak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019, bertemu, Kamis (12/3/2020) malam. Mereka menolak usul kenaikan ambang batas parlemen jadi 7 persen. Kenaikan dianggap upaya kembali ke Orde Baru.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen memantik resistensi dari partai-partai politik yang tak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019. Kenaikan dianggap sebagai upaya untuk kembali ke era Orde Baru dan memberangus suara rakyat.
Keinginan untuk menaikkan ambang batas parlemen jadi 7 persen diungkapkan pasca-pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh beberapa waktu lalu.
Adapun yang berlaku saat ini, seperti tertera di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ambang batas parlemen paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional.
Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq, di Jakarta, Jumat (13/3/2020), mengatakan, mengutak-atik ambang batas parlemen bukan satu-satunya cara untuk melakukan penguatan partai politik dan demokrasi. ”Justru ambang batas parlemen itu memberangus suara sah rakyat,” katanya.
Dari 16 parpol peserta Pemilu 2019, hanya 9 parpol yang lolos ambang batas parlemen sehingga memiliki wakil di DPR. Tujuh parpol lain tidak dapat mendudukkan wakilnya di DPR karena tidak lolos ambang batas parlemen.
Menurut Rofiq, tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2019 jika disatukan akan mendapatkan angka 9,7 persen atau setara dengan 13,6 juta suara sah.
Bayangkan suara sebesar itu sia-sia, bukankah demokrasi itu menghargai setiap keputusan-keputusan rakyat.
”Bayangkan suara sebesar itu sia-sia, bukankah demokrasi itu menghargai setiap keputusan-keputusan rakyat,” katanya.
Menurut Rofiq, seharusnya semua pihak tidak berkeras menaikkan ambang batas parlemen. Yang lebih penting seharusnya mengevaluasi, apa yang salah dalam aturan main pemilu sehingga jutaan suara itu sia-sia.
”Kalau ambang batas parlemen tetap dipaksakan naik 7 persen, kok tanggung amat. Kita minta sekalian 20 persen biar hanya ada satu partai yang ada di Senayan,” ujarnya.
Rofiq dan sekjen partai lainnya yang tidak lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2019 pun mengeluarkan sikap menolak wacana kenaikan menjadi 7 persen.
Wacana itu dipandang seolah ingin kembali ke Orde Baru, di mana hanya ada sedikit parpol dan terjadi pemusatan kekuasaan.
Para sekjen dari sejumlah parpol yang tidak lolos ambang batas itu melakukan pertemuan di Jakarta pada Kamis (12/3/2020) malam.
Pertemuan itu dihadiri oleh enam sekjen, yakni Priyo Budi Santoso (Partai Berkarya), Afriansyah Firman Noor (Partai Bulan Bintang), I Gde Pasek (Partai Hanura), Abdullah Mansuri (Partai Garuda), Ahmad Rofiq (Perindo), dan Verry Surya (PKPI). Adapun Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni berhalangan hadir.
”Kami mengingatkan kepada para pembuat UU agar juga memperhatikan variasi tingkat kepadatan di daerah pemilihan,” kata Abdullah Mansuri.
Sekjen PKPI Verry Surya berharap 13,6 juta suara rakyat yang diberikan kepada tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas 4 persen itu diperhatikan.
Rofiq menambahkan, partai yang ada di Senayan saat ini pasti tidak rela ada partai-partai baru atau kecil yang akan masuk ke Senayan. Sedapat mungkin jumlah partai dibatasi. Bahkan, jumlah yang ada di Senayan saat ini berupaya dikurangi dalam pemilu mendatang.
”Perindo dan partai-partai yang tak lolos ambang batas mengajak kepada seluruh partai untuk duduk bersama membahas sistem pemilu ke depan agar tidak ada yang dirugikan. Misalkan, partai yang tidak lolos ambang batas dapat membentuk fraksi gabungan sesuai dengan ketentuan ambang batas,” katanya.
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, sekalipun partainya lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019, pihaknya tidak sepakat jika ambang batas dinaikkan menjadi 7 persen.
Alasannya, ambang batas yang tinggi berpotensi akan menimbulkan oligarki partai dan kekuasaan. Ini karena hanya akan ada sedikit partai yang berkuasa.
”Apakah jumlah partai yang sedikit itu menjamin efektivitas pemerintahan dan korupsi tidak terjadi di dalam tubuh partai. Kan tidak juga,” katanya.