Keadilan restoratif perlu diterapkan dalam sistem hukum pidana di negeri ini. Model penyelesaian ini tidak hanya melibatkan pelaku, tetapi korban, dan masyarakat, akan menciptakan keseimbangan sosial.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana dinilai akan memberikan keadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Meski secara umum aparat penegak hukum telah memahaminya, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dalam penerapannya di lapangan.
Hal itu terungkap dalam seminar ”Diseminasi Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana”, Kamis (12/3/2020), di Kompleks Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Pembicara dalam seminar tersebut adalah Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas Prahesti Pandanwangi, analis Kebijakan Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Komisaris Besar Andry Wibowo, Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum Sugeng Purnomo, dan Direktur Eksekutif Insitute for Criminal Justice Reform Erasmus AT Napitupulu.
Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Kementerian PPN/Bappenas Slamet Soedarsono mengatakan, konsep keadilan restoratif perlu diterapkan karena mengandung konsep keadilan sosial. Konsep itu telah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dinilai perlu untuk segera diterapkan juga dalam penyelesaian perkara pidana.
Baca juga: Keadilan dalam Pidana Anak
Beberapa kasus pidana ringan yang menimpa masyarakat kecil menjadi contoh bahwa penegakan hukum tidak harus diselesaikan dengan pidana penjara. Penyelesaian kasus semacam itu dapat dilakukan dengan menerapakan konsep keadilan restoratif yang melibatkan korban, pelaku, masyarakat, dan aparat penegak hukum, melalui mediasi atau rehabilitasi.
”Pendekatan keadilan restoratif sudah menjadi kebutuhan dalam penegakan hukum nasional. Kami melihat ada kesempatan untuk menerapkan keadilan restoratif berupa pemulihan korban, juga pertanggungjawaban pelaku, serta keterlibatan negara dan masyarakat dalam lingkup peradilan pidana,” kata Slamet.
Di sisi lain, kata Slamet, hukuman penjara juga berdampak negatif, salah satunya membuat kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (LP). Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mencatat, LP yang sewajarnya memiliki daya tampung 94.748 orang kini menampung 189.414 penghuni. Sementara jumlah tahanan di rumah tahanan negara (rutan) mencapai 64.117 orang.
Menurut Prahesti, pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian pidana yang tidak hanya melibatkan pelaku, tetapi korban, dan masyarakat, akan menciptakan keseimbangan sosial. Peluang penerapan konsep keadilan restoratif dapat diterapkan baik pada perkara narkotika, tindak pidana dengan kerugian ekonomi, maupun tindak pidana dengan kerugian fisik.
Regulasi yang mendukung konsep tersebut terdapat di Pasal 14 huruf a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu (pidana bersyarat). Kemudian, juga pada Pasal 14 huruf c yang mencakup syarat-syaratnya. Regulasi lainnya adalah pada Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Andry, secara umum, aparat penegak hukum tidak dapat menolak pengaduan. Dengan demikian, pengaduan yang masuk akan ditindaklanjuti. Sementara pada dasarnya masyarakat telah memiliki mekanisme penyelesaian perkara dengan cara-cara mediasi atau musyawarah, seperti upacara bakar batu oleh masyarakat Papua.
Meski demikian, untuk memasukkan konsep keadilan restoratif ke dalam sistem hukum modern, yang diperlukan tidak hanya mengubah regulasi, tetapi terutama meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, khususnya penegak hukum.
Menurut Sugeng, konsep keadilan restoratif berakar pada rasa empati. Kejaksaan pernah menerapkan hal itu, semisal pada kasus seorang suami yang menanam ganja untuk pengobatan istrinya yang terjadi di Kalimantan Barat. Saat ini pihaknya tengah menyusun rancangan peraturan Jaksa Agung terkait dengan penanganan tindak pidana ringan dengan mengedepankan sikap empati atau rasa keadilan.
Sementara, menurut Erasmus, keadilan restoratif tidak semata soal penghentian perkara. Agar dapat diterapkan, diperlukan perubahan paradigma bahwa hukuman pidana tidak hanya penjara. Kemudian diperlukan regulasi yang jelas agar aparat penegak hukum dapat menjalankannya dengan baik.
”Terkadang masyarakat tidak punya pilihan. Satu-satunya hukuman seolah hanya penjara, padahal mestinya ada banyak. Dengan demikian, sifat punitif masyarakat mesti diubah,” kata Erasmus.