Pendekatan regulasi, seperti merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, atau uji materi undang-undang tersebut, bisa didorong untuk meminimalkan tren calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah.
Oleh
Nikolaus Harbowo/Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan regulasi, seperti merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, atau uji materi undang-undang tersebut, bisa didorong untuk meminimalkan tren calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Revisi bisa dilakukan untuk menurunkan ambang batas pencalonan dan memastikan agar calon lebih dari satu.
Jumlah pasangan calon tunggal terus bertambah pada tiga gelombang pilkada serentak, yakni 3 daerah di Pilkada 2015, 9 daerah di Pilkada 2017, dan 16 daerah di Pilkada 2018. Tren ini dikhawatirkan berlanjut pada pilkada serentak 2020 yang akan berlangsung di 270 daerah. Pada pilkada calon tunggal, masyarakat akan memilih antara calon dan kotak kosong. Jika kotak kosong mendapatkan suara terbanyak, pilkada akan diulang pada pilkada berikutnya.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, di Jakarta, Selasa (10/3/2020), mengatakan, salah satu alasan jumlah calon tunggal meningkat adalah ambang batas pencalonan yang terlalu tinggi.
Dalam UU No 10/2016, pasangan calon kepala daerah memerlukan dukungan minimal 20 kursi DPRD atau 25 persen suara sah di pemilihan DPRD terakhir.
Kondisi itu membuat partai politik bergabung dengan partai lain untuk mengusung satu calon yang sudah dipastikan kemenangannya.
”Yang sangat disayangkan, politisi dan parpol kadang-kadang mau ambil gampangnya saja. Mereka juga banyak yang enggak menyiapkan kadernya sehingga saat giliran pencalonan, mereka kebingungan sendiri,” ujar Hadar.
Politisi dan parpol kadang-kadang mau ambil gampangnya saja. Mereka juga banyak yang enggak menyiapkan kadernya sehingga saat giliran pencalonan, mereka kebingungan sendiri.
Hadar menilai jalan keluar yang bisa ditempuh adalah merevisi UU Pilkada atau mengajukan uji materi undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Substansi yang direvisi antara lain adalah ambang batas pencalonan.
Ambang batas pencalonan harus diturunkan sehingga membuka kesempatan bagi partai lain untuk mengusung calon sendiri. Namun, lanjut Hadar, penurunan ambang batas tidak cukup. Dalam revisi UU juga harus diatur agar pasangan calon yang berkontestasi lebih dari satu.
Melihat Pilkada 2020 akan digelar September, Hadar menilai jalur revisi UU Pilkada tidak dimungkinkan, apalagi akan ada banyak kepentingan partai politik. Oleh karena itu, hal yang paling tepat adalah mengajukan uji materi UU Pilkada ke MK.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta mengatakan, saat ini sebagian elemen masyarakat sipil tengah mengkaji kemungkinan melakukan uji materi UU Pilkada. Fokusnya adalah syarat bagi partai politik atau gabungan partai politik dengan pembatasan maksimal persentase suara dalam mengusung pasangan calon kepala daerah.
Kaka mengatakan, dasar filosofis kajian itu adalah kebutuhan kompetisi sehat dalam negara demokrasi. Menurut Kaka, secara yuridis hal itu juga disebutkan dalam UUD 1945. Namun, hal ini berkejaran dengan waktu karena pendaftaran pasangan calon berlangsung Juni.