Dugaan Pelanggaran HAM Saat Aksi ”Reformasi Dikorupsi” Menguat
Tim Advokasi untuk Demokrasi melaporkan 390 pengaduan dugaan kekerasan oleh oknum Polri saat menangani aksi unjuk rasa pada September 2019. Temuan Komnas HAM sebelumnya juga menunjukkan dugaan pelanggaran yang sama.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Advokasi untuk Demokrasi melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oknum Polri saat menangani rangkaian aksi unjuk rasa ”Reformasi Dikorupsi”, September 2019.
Laporan ini menguatkan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebelumnya, yang juga mensinyalir adanya dugaan pelanggaran oleh oknum anggota Polri. Aksi ”Reformasi Dikorupsi” dilakukan untuk menuntut pembatalan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah.
”Kami terima 390 pengaduan adanya tindak kekerasan yang dilakukan Polri dalam penanganan aksi September lalu,” kata Sutista Dirga, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, yang ditemui di Komnas HAM, Selasa (10/3/2020).
Dirga yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi bersama Mustafa dari LBH Pers, Tioria Pretty dari KontraS, dan Husein Achmad dari Imparsial.
Dirga mengatakan, dari 390 pengaduan itu, sebanyak 10 hingga 15 pengaduan akan menuntut secara hukum. ”Hari ini (10/3/2020), juga ikut dua korban. Tadi mereka menceritakan kronologi kepada komisioner Komnas HAM,” kata Dirga.
Dirga mengatakan, secara umum, kekerasan dilakukan pada saat penangkapan dan interogasi. Selain itu, juga ada intimidasi dalam bentuk verbal. Pengaduan tidak saja datang dari mahasiswa dan siswa, tetapi juga dari petugas medis, wartawan, dan keluarga korban.
Ia mengatakan, pengaduan ke Komnas HAM baru dilakukan saat ini karena menunggu kesiapan psikologis korban. ”Kami sudah ada bukti-bukti berupa visum dan pengakuan kronologis dari korban,” kata Dirga.
Komisioner Komnas HAM bidang Pemantauan dan Penyelidikan Amiruddin mengatakan, pihaknya akan mengundang Polda Metro Jaya ke Komnas HAM. Akan tetapi, sebelumnya Komnas HAM menunggu data selengkapnya dari tim pengacara terkait para korban kekerasaan saat ditangkap pada September lalu. ”Dalam laporan Komnas juga sebenarnya sudah mensinyalir adanya kekerasan,” kata Amiruddin.
Menurut tim pengacara, ada beberapa HAM yang dilanggar sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal-pasal yang dilanggar terkait jaminan dan perlindungan, bebas dari penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang.
Husein mengatakan, banyak pengaduan tentang peserta aksi yang ditangkap saat istirahat atau berlindung dari gas air mata. ”Ini bukan penangkapan, tapi perburuan aksi damai mahasiswa,” katanya.
Tioria Pretty dari KontraS menambahkan, mayoritas pihak yang mengadu berasal dari mahasiswa dan pelajar. Jumlah mereka mencapai 201 pengaduan dari total 390 pengaduan. Laporan mereka di antaranya mengungkapkan adanya pengeroyokan oleh aparat, pemukulan, dan intimidasi secara verbal. Ada korban-korban yang luka di kepala karena disiksa saat diinterogasi.
”Ada korban yang sudah luka parah, tetapi oleh polisi dibilang, kalau belum tewas, ya tidak bisa dibawa,” kata Tioria.
Mustafa menyesalkan kekerasan yang terjadi selama aksi unjuk rasa. Padahal, hak warga negara untuk mengeluarkan pendapat dijamin oleh UU.
Ia mengatakan, ada beberapa kasus selama demonstrasi tanggal 24-30 September 2019, di mana pers juga dipukul aparat Polri. ”Di Jakarta ada enam kasus, di Makassar ada empat kasus,” kata Mustafa.
Mustafa mengatakan, LBH Pers sudah membuat empat laporan yang disampaikan kepada Polri. Akan tetapi, hingga saat ini dua laporan belum ditindaklanjuti, sementara dua laporan lain katanya masih dalam tahap penyelidikan. Kasus yang terjadi bervariasi, mulai dari pemukulan sampai perampasan alat kerja.
”Sudah sejak 4 Oktober kami laporkan, sampai sekarang belum ada hasil,” kata Mustafa.