Penguasaan kecerdasan buatan dan mahadata atau big data menjadi sesuatu yang penting untuk dapat memenangi ”pertempuran” dan meraih masa depan.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Ancaman terhadap ketahanan nasional saat ini dan di masa yang akan datang sudah jauh berbeda jika dibandingkan dengan ketika Indonesia merdeka. Saat ini, penguasaan kecerdasan buatan dan mahadata atau big data menjadi sesuatu yang penting untuk dapat memenangi ”pertempuran” dan meraih masa depan.
Hanya saja, sikap pemerintah terhadap ancaman yang muncul di masa ini masih menggunakan pola yang sama ketika Indonesia menghadapi tantangan 75 tahun lalu, yaitu dengan struktur militer atau kekuatan senjata. Kesiapan menghadapi ancaman militer tetap harus dijaga, tetapi ancaman saat ini juga banyak berupa nirmiliter.
”Tampaknya kita mengalami disorientasi dan tidak sadar ancaman yang kita hadapi,” kata Pontjo Sutowo, Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri (FKKPI), Rabu (4/3/2020), dalam diskusi Aktualisasi Menggalang Ketahanan Nasional demi Kelangsungan Hidup Bangsa, di Jakarta.
Tantangan zaman ini berbeda dengan tantangan yang dihadapi 75 tahun lalu ketika Indonesia merdeka.
Kegiatan itu merupakan diskusi awal sebelum bedah buku Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, Sabtu mendatang.
Pontjo yang juga Pembina Yayasan Nuswantara Bakti mengatakan, bangsa yang menguasai teknologi akan menguasai bangsa-bangsa yang tidak menguasainya. Dalam hal ini, menurut dia, Indonesia sudah ketinggalan.
Pentingnya penguasaan kecerdasan buatan dan mahadata juga dikemukakan Guru Besar Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo, Kendari, Laode Masihu Kamaludin. Menurut dia, tantangan zaman ini berbeda dengan tantangan yang dihadapi 75 tahun lalu ketika Indonesia merdeka.
”Pertempuran sekarang adalah pertempuran digital yang dikuasai algoritma. Siapa yang menguasai data, dia yang menguasai permainan,” kata Laode.
Tantangan yang terkait erat dengan perkembangan teknologi informasi tersebut memang baru berkembang beberapa tahun terakhir. Namun, dalam pandangan Laode, Indonesia tampak lebih suka membeli teknologi dibandingkan dengan menguasai teknologi. Indikasinya adalah minimnya inovasi sebagaimana tampak di industri-industri dari negara lain.
Kesadaran rendah
Rendahnya kesadaran terhadap ancaman nirmiliter, menurut Laode, disebabkan mentalitas masyarakat yang daya inovasinya rendah. Padahal, inovasi penting untuk membuat sebuah bangsa dapat bertahan. Hal itu tampak dari perkembangan peradaban-peradaban dunia yang muncul dan akhirnya runtuh. Apabila talenta dalam masyarakat dapat dikelola dengan baik, ketahanan bangsa akan terbangun.
Salah satu bentuk ketahanan yang dinilai lemah adalah soal pangan. Kebijakan pemerintah lebih berorientasi pada ketahanan dibandingkan kedaulatan pangan sehingga masih membuka impor. Padahal, jika berorientasi kedaulatan, orientasinya adalah memenuhi kebutuhan dengan sedapat mungkin adalah hasil dari dalam negeri.
Senada dengan itu, menurut Pontjo, kesadaran masyarakat tentang adanya ancaman nirmiliter mesti dibangun. Jika kesadaran bersama tumbuh, partisipasi masyarakat di berbagai aspek kehidupan akan muncul. Masalahnya, saat ini, partisipasi masyarakat muncul lebih banyak dalam hal-hal terkait politik sehingga akibat yang timbul adalah kegaduhan. ”Kalau kesadaran bersama dapat dibangun, seluruh warga negara akan ikut berpartisipasi,” ujar Pontjo.