Keragaman suku, agama, dan budaya di Indonesia diyakini akan mendorong kemajuan peradaban bangsa. Namun pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat justru kurang menghargai keberagaman.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Keragaman suku, agama, dan budaya di Indonesia diyakini akan mendorong kemajuan peradaban bangsa. Namun pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat justru kurang menghargai keberagaman.
”Apabila masyarakat Indonesia menyadari pentingnya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar negara, seharusnya hal itu tecermin di kehidupan sehari-hari,” kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Al Makin dalam bedah bukunya, Membela yang Lemah, demi Bangsa dan Ilmu, Senin (2/3/2020).
Diskusi yang berlangsung di Jakarta itu juga dihadiri pembicara lain, yakni Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono dan Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani.
Al Makin mengkritik sistem pendidikan di Indonesia. Menurut dia, anak-anak tidak diajari berinteraksi dengan orang yang berbeda latar belakang suku, agama, dan budaya. Sebaliknya, anak-anak didorong belajar dengan orang yang sama latar belakangnya. Anak hanya diajari melihat perbedaan dengan menghafal, bukan merasakan dan mengalami sendiri agar muncul kesadaran untuk bertoleransi.
”Anak-anak harus mengalami dan menyaksikan sendiri perbedaan itu sehingga timbul sikap menghargai. Jangan hanya menghafal ritual agama tertentu, tetapi harus mengalami, harus berteman,” katanya.
Sementara itu, Hariyono mengatakan, masyarakat Indonesia cenderung kurang menghargai keberagaman karena menjauh dari sejarah. Masyarakat kurang melihat ke belakang, terutama terkait sejarah pembentukan negara Indonesia. Karena itu, menurut dia, cara yang paling efektif menanamkan penghargaan terhadap keberagaman ialah lewat institusi negara.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani menambahkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, pemerintah telah memasukkan agenda moderasi agama dalam target kinerjanya. Selanjutnya, tugas Kantor Staf Presiden adalah mengawal implementasi di tingkat birokrasi. Kantor Staf Presiden juga mempersilakan masyarakat sipil dan media untuk terus mengawal implementasi kebijakan tersebut.
Komitmen Muhammadiyah
Kemarin, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir bersama sejumlah pengurus PP Muhammadiyah bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta untuk menyampaikan undangan Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo, Jawa Tengah. Pada kesempatan itu, Presiden mengapresiasi kiprah Muhammadiyah.
”Presiden menyampaikan apresiasi di mana Muhammadiyah, selain punya kekuatan di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, juga menanamkan nilai keagamaan yang wasatiyah, yang moderat dan berkemajuan,” kata Haedar seusai bertemu Presiden.
Kepada Presiden, Haedar menyampaikan komitmen Muhammadiyah untuk memajukan umat dan bangsa. Untuk itu, ke depan, Muhammadiyah akan lebih fokus membangun pusat-pusat ekonomi, selain tetap mengembangkan nilai-nilai Islam moderat.
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Kantor Wakil Presiden, di Jakarta, meminta para rektor untuk membantu pemerintah mencegah penyebaran radikalisme di kampus. Selama ini, bibit-bibit radikalisme juga tumbuh dari kampus-kampus.
”Apa yang disampaikan Pak Wapres tadi, kalau kami tidak benahi kampus terkait dengan ideologi kebangsaan, itu akan berbahaya,” kata Koordinator Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa yang juga Rektor Universitas Lampung Karomani, seusai bertemu Wapres Amin. (DEA/NTA)