Merawat Keberagaman Kunci Kemajuan Peradaban Bangsa
Keragaman di Indonesia adalah berkah yang harus disyukuri. Hal ini seharusnya tidak hanya menjadi diskursus di tingkat akademis, tetapi juga diimplementasikan dalam kinerja teknokratis pemerintah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keragaman suku, agama, dan budaya di Indonesia diyakini akan mendorong kemajuan peradaban bangsa. Namun, praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat justru kurang menghargai keberagaman. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan struktural terutama dari sisi pendidikan supaya masyarakat tidak antiperbedaan.
Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi bedah buku "Membela yang Lemah, Demi Bangsa dan Ilmu" karya Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Al Makin di Jakarta, Senin (1/3/2020). Al Makin, dalam buku tersebut menyoroti isu keragaman, minoritas, khilafah, kapitalisme agama, dan mahzab Yogya.
Al Makin memberikan contoh, Amerika Serikat mampu merawat keberagaman, sehingga sumber daya manusia menjadi berkembang dan berkontribusi pada kemajuan bangsa. Oleh karena itu, dia berharap Indonesia juga bisa merawat keberagaman, sehingga keberagaman tidak justru dianggap sebagai penghambat kemajuan bangsa.
Dia juga menuturkan, pemerintah perlu menyegarkan tafsir, terutama mengenai pengamalan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Selama ini, pemerintah masih mengadopsi tafsir Pancasila dari warisan Orde Baru, sehingga sosialisasinya cenderung kaku, dan sulit menjangkau generasi muda atau kaum milenial.
"Kalau masyarakat Indonesia sadar akan arti pentingnya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar negara, seharusnya hal itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam praktiknya Indonesia belum sepenuhnya menghargai keragaman," kata Al Makin.
Dalam penelitiannya, Al Makin menemukan bahwa ada sekitar 1.300 tradisi lokal berupa spiritual keagamaan di Indonesia. Di Kota Manado, Sulawesi Utara saja ditemukan tak kurang dari 10 kepercayaan misalnya Alifuru dan Masade. Namun, dalam praktiknya, ketika beribadah para penganut kepercayaan ini masih kerap mendapatkan intimidasi atau bahkan persekusi.
"Bagaimana kita bersikap kepada kelompok minoritas menunjukkan seperti apa keragaman kita. Perlu dilihat lagi seperti apa kita memahami keberagaman ini," ujar Al Makin.
Pendidikan
Al Makin juga mengkritik sistem pendidikan di Indonesia yang menurutnya masih kurang menanamkan pentingnya menjunjung tinggi keberagaman. Anak-anak tidak diajari untuk belajar, berinteraksi dengan orang yang berbeda latar belakang suku, agama, dan budaya. Sebaliknya, anak-anak didorong belajar dengan orang yang sama latar belakangnya, terutama dari sisi agama. Anak hanya diajari melihat perbedaan dengan menghafal, tetapi bukan merasakan, dan mengalami sendiri sehingga muncul kesadaran untuk bertoleransi.
"Anak-anak harus mengalami dan menyaksikan sendiri perbedaan itu sehingga timbul sikap menghargai. Jangan hanya menghafal ritual agama tertentu, tetapi harus mengalami, harus berteman," kata Al Makin.
Al Makin berharap dengan adanya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) diharapkan tafsir terhadap Pancasila akan semakin muda dan kekinian. Sehingga generasi muda tertarik untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan akan menjadi kunci keberhasilan sosialisasi Pancasila agar dapat masuk ke generasi muda.
"Pendidikan itu bukan hanya informal sekolah atau kampus ya. Tetapi juga pendidikan informal di masyarakat. Bagaimana menanamkan kepada masyarakat bahwa berbeda itu biasa," kata Al Makin.
Wakil Ketua BPIP Hariyono mengatakan masyarakat Indonesia cenderung kurang menghargai keberagaman karena masyarakat menjauh dari sejarah. Masyarakat kurang melihat ke belakang, terutama terkait sejarah pembentukan negara Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, cara yang paling efektif untuk menanamkan penghargaan terhadap keberagaman adalah melalui institusi negara.
"Pancasila itu bukan monopoli negara. Tetapi masyarakat juga harus bangga pada Pancasila, makanya BPIP mengenalkan salam Pancasila. Salam ini tidak akan menggantikan salam keagamaan tertentu. Harus dilihat dulu konteksnya di mana dan kapan diucapkan," kata Hariyono.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani menambahkan, keragaman di Indonesia adalah berkah yang harus disyukuri masyarakat. Hal itu seharusnya tidak hanya menjadi diskursus di tingkat akademis tetapi juga diimplementasikan dalam kinerja teknokratis pemerintah.
"Selama 7-10 tahun, kami yang bergerak di Deputi V KSP di bidang politik, hukum, dan hak asasi manusi strategis sangat mendukung keberagaman dan mencoba mengimplementasikan hal-hal yang menjadi kepedulian bersama," katanya.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah juga telah memasukkan agenda moderasi agama dalam target kinerjanya. Selanjutnya, tugas dari KSP adalah mengawal implementasi di tingkat birokrasi. KSP juga mempersilakan masyarakat sipil dan media untuk terus mengawal implementasi kebijakan tersebut.