Ketua KPU Arief Budiman diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK. Ia mengaku sekali pernah bertemu Harun Masiku, buron yang juga tersangka penyuap bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan. Pertemuan itu terjadi di kantor KPU.
Oleh
Prayogi Dwi Prasetyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi saksi untuk bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan, tersangka dugaan suap penetapan anggota DPR terpilih. Arief mengakui pernah bertemu dengan Harun Masiku, tetapi menolak permintaannya untuk menggantikan Riezky Aprilia melalui mekanisme pergantian antarwaktu anggota DPR.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, selain untuk Wahyu, Arief juga menjadi saksi untuk tiga tersangka lain, yakni Agustiani Tio Fridelina yang diduga sebagai penerima suap serta Harun Masiku dan Saeful yang diduga berperan sebagai pemberi suap.
Agustiani merupakan anggota Badan Pengawas Pemilu 2008-2012 yang disebut sebagai orang kepercayaan Wahyu. Harun adalah bekas calon anggota legislatif (caleg) DPR pada Pemilu 2019 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sedangkan Saeful merupakan tenaga staf Sekretariat DPP PDI-P.
Pemanggilan Arief seharusnya dijadwalkan pada Selasa (25/2/2020). Namun, ia tidak bisa datang karena banjir. Seusai diperiksa penyidik KPK, Arief mengatakan, dirinya dimintai keterangan untuk melengkapi informasi yang telah diberikannya sebulan lalu.
”Sebulan lalu saya memberikan keterangan atas 22 pertanyaan. Hari ini ada 10 pertanyaan. Beberapa pertanyaan sama, tetapi lebih mendalami terkait hubungan saya dengan Wahyu dan Harun,” ujar Arief di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (28/2/2020).
Ia mengaku tidak mengenal Harun. Namun, Harun pernah datang ke kantor KPU dan bertemu dengannya untuk menyampaikan surat uji materi (judicial review) yang sudah diputuskan Mahkamah Agung. Saat itu, Harun mengatakan surat tersebut merupakan putusan MA dan meminta KPU menjalankannya.
Akan tetapi, Arief mengatakan, surat tersebut tidak bisa ditindaklanjuti karena tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pemilu. Dalam pertemuan tersebut, Wahyu tidak bersama dengannya.
Arief mengaku, pertemuan tersebut adalah hal yang biasa karena banyak orang yang datang ke kantor KPU untuk berkonsultasi. Ia hanya pernah bertemu dengan Harun sekali. Setelah pertemuan tersebut, ia tidak lagi bertemu dengan Harun.
Pada Rabu (26/2/2020), KPK telah memeriksa kembali anggota KPU, Evi Novida Ginting Manik, dan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Evi dipanggil KPK untuk memberikan keterangan tambahan terkait tugasnya di divisi teknis. Ia juga ditanya tentang mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, khususnya ketika ada calon anggota legislatif terpilih meninggal (Kompas.id/26/2/2020).
Sementara itu, Hasto mengatakan, PDI-P telah mengambil keputusan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mereka juga telah diperkuat oleh putusan MA dan fatwa MA terhadap penetapan calon anggota legislatif terpilih.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity dan mantan anggota KPU, Hadar Navis Gumai, mengatakan, keputusan Arief sudah tepat untuk tidak menjalankan putusan MA sebab suara terbanyak di daerah pemilihan Sumatera Selatan I diperoleh Riezky Aprilia.
”Nazarudin Kiemas meninggal sebelum rekapitulasi hasil perolehan suara sehingga suaranya menjadi nol. Alhasil, Riezky yang berada di urutan kedua secara otomatis menjadi yang tertinggi,” kata Hadar.
Ia menjelaskan prosedur rekapitulasi hasil perolehan suara bagi caleg yang meninggal sebelum hari penghitungan suara. Suara caleg yang meninggal tersebut menjadi nol karena tidak ada data yang dapat diketahui jumlahnya.
Akan tetapi, tidak semua petugas tempat pemungutan suara melakukan pencatatan secara tertib dan teliti sehingga suara caleg yang meninggal tersebut tetap dicatat serta dihitung sebagai miliknya.
Alhasil, peraturan KPU mengatur untuk memindahkan suara caleg yang meninggal tersebut ke partai politiknya jika masih ditemukan pencatatan yang keliru saat rekapitulasi di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan.
Selain itu, mekanisme PAW juga hanya bisa dilakukan ketika calon anggota DPR tersebut sudah dilantik. Di sisi lain, mekanisme PAW juga hanya bisa dilakukan jika ada surat dari pimpinan DPR, bukan dari partai politik atau putusan MA.
Surat dari DPR tersebut baru bisa diberikan ketika Riezky meninggal, dikeluarkan dari partai, atau tidak memenuhi syarat sebagai anggota DPR. Adapun kondisi Riezky saat ini sehat dan tidak ada masalah dengan partai maupun dengan DPR.
Apabila suara Nazarudin dihitung dan partai ingin melakukan proses PAW, maka urutan suara terbanyak yang dapat menjadi pengganti Nazarudin. Adapun Harun berada di urutan kelima sehingga akan ada empat calon lain di atasnya yang harus dikorbankan.
Menurut Hadar, partai tidak dapat mengintervensi penggantian calon yang sudah terpilih karena ia telah mendapatkan suara dari rakyat. Hal tersebut dapat merusak sistem dalam pemilu.
Selain itu, Hadar juga meminta KPK segera menangkap Harun Masiku. Sebab, kasus ini berpengaruh besar pada integritas penyelenggara pemilu, partai politik, dan KPK.