KPU Cenderung Ingin Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal
Pasca-putusan MK terkait penataan ulang desain keserentakan pemilu, KPU berharap pembentuk UU segera merevisi UU Pemilu. KPU cenderung pada model pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga memasukkan surat suara dalam pemungutan suara ulang di TPS 71, Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (24/4/2019). Pemungutan suara ulang dilakukan karena pada pemungutan suara 17 April lalu ada dua warga luar daerah yang menggunakan hak pilih tanpa menggunakan formulir A5.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka tafsir model keserentakan pemilu dan memberikan model-model alternatif selain pemilu lima kotak yang dipakai dalam Pemilu 2019. Namun, terkait model keserentakan yang dipilih, KPU cenderung pada pemisahan pemilu serentak nasional dengan pemilu serentak daerah.
Pasalnya, dengan model keserentakan tersebut, pemilih akan dihadapkan pada model pemilu yang sederhana. Selain itu, isu kampanye yang diangkat pun bisa lebih fokus menyasar pemilih nasional ataupun pemilih daerah.
Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, Kamis (27/2/2020), di Jakarta, mengatakan, pihaknya menghargai putusan MK. Menyusul penolakan MK untuk menentukan model keserentakan pemilu dan menyerahkannya kepada pembuat undang-undang untuk memilihnya, KPU berharap agar revisi Undang-Undang Pemilu dapat dilakukan segera. Dengan demikian, KPU masih memiliki waktu yang masih longgar untuk mempersiapkan perhelatan akbar lima tahunan tersebut.
”KPU menghargai putusan MK. Kami berharap pembuat UU segera merancang revisi UU mumpung waktunya masih longgar,” kata Hasyim.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Penghitungan suara Pemilu 2019 dilakukan hingga malam hari, seperti yang terlihat di sebuah tempat pemungutan suara Jalan Swadarma, Jakarta Selatan, Rabu (17/4/2019).
Kemarin, melalui putusannya Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK menegaskan konstitusionalitas pemilu serentak presiden, DPR, dan DPD. Terkait keserentakannya dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serta DPRD provinsi/kabupaten, MK menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Hal tersebut merupakan kebijakan hukum yang terbuka atau open legal policy. MK menjawab permohonan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh direktur eksekutifnya, Titi Anggraini.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, pelaksanaan pemilu yang konstitusional adalah tidak lagi memisahkan penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres). Alasannya, keserentakan sistem pemilu itu terkait dengan sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan presidensial adalah bentuk dari original intent dari pembentuk UUD 1945. Selain itu, MK juga mempertimbangkan terkait efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
”Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah pemilihan umum anggota legislatif diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi.
MK juga menimbang bahwa pemilu serentak dengan cara menyerentakkan pileg (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pilpres masih terbuka kemungkinan untuk ditinjau dan ditata kembali. Peninjauan dan penataan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilu.
MK juga menimbang bahwa pemilu serentak dengan cara menyerentakkan pileg (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pilpres masih terbuka kemungkinan untuk ditinjau dan ditata kembali. Peninjauan dan penataan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilu.
Kompas/Wawan H Prabowo
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU (Pilkada) di Gedung MK Jakarta, Rabu (26/2/2019). MK menolak seluruh permohonan yang disampaikan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu terkait pemisahan pemilu antara nasional (pilpres, pileg DPR dan DPD) dan lokal (kepala daerah dan DPRD). MK menegaskan tidak berwenang menentukan model pemilu serentak dari sejumlah pilihan yang ada. MK menyerahkan penentuan model pemilu kepada pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR.
MK juga memberikan beberapa pilihan model pemilu serentak yang dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945. Pilihan itu di antaranya pemilu serentak pemilihan anggota DPR, DPD, pilpres, dan anggota DPRD. Kemudian, pemilihan anggota DPR, DPD, pilpres, gubernur, dan bupati/wali kota. Selanjutnya, pemilihan anggota DPR, DPD, pilpres, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota. Lalu, pemilu serentak nasional dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal. Berikutnya, pileg DPR, DPD, pilpres, dan beberapa waktu setelahnya pileg DPRD provinsi, serta gubernur kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati dan wali kota. Serta, opsi terakhir pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pileg dan pilpres.
”Penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya,” kata Saldi.
Penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya.
MK juga mengingatkan bahwa pemilihan model tersebut akan berimplikasi terhadap perubahan UU. Perubahan UU diharapkan dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk melakukan simulasi sebelum UU tersebut berlalu efektif. Pembentuk UU juga diminta untuk memperhitungkan dengan cermat implikasi teknis pilihan model sehingga pemilu berkualitas. Pilihan model diharapkan juga memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak. Selain itu, MK juga menyoroti agar model pemilu jangan terlalu sering diubah supaya terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilu.
Evaluasi Pemilu 2019
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, mengatakan, pihaknya menghargai dan menghormati putusan yang dikeluarkan MK. Secara umum, rekomendasi model keserentakan yang dikeluarkan MK juga sudah sesuai dengan model yang dirumuskan LIPI. Putusan MK itu juga diharapkan dapat memperbaiki aturan pemilu semakin konsisten dan komprehensif. Korban yang jatuh, baik dari sisi penyelenggara maupun pengawas pemilu pada pemilu serentak 2019, harus menjadi dasar perbaikan revisi UU Pemilu.
”Kami juga akan memberikan masukan kepada pembuat UU supaya revisi UU tersebut lebih konsisten dan komprehensif,” kata Afifudin.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Suasana penghitungan suara Pemilu 2019 di di TPS 039 Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2019).
Sementara itu, Titi Anggraini mengatakan, usulan pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal memang ditolak oleh MK. Namun, MK sebenarnya memiliki kesepahaman dengan pemohon. Sebab, MK menekankan soal mempertahankan sistem keserentakan pileg dan pilpres serta kemudahan pemilih.
”Ini merupakan jawaban atas kegelisahan kita, terhadap evaluasi pemilu 2019 yang dianggap menyulitkan pemilih, memberikan beban yang berat bagi peserta, penyelenggara, dan pemilih,” ujar Titi.
Ini merupakan jawaban atas kegelisahan kita, terhadap evaluasi pemilu 2019 yang dianggap menyulitkan pemilih, memberikan beban yang berat bagi peserta, penyelenggara, dan pemilih.
Titi berharap putusan MK ini benar-benar diperhatikan dan dicermati oleh pembuat UU. Selain itu, MK juga meminta pembuat UU melibatkan pihak terkait dan pemangku kepentingan untuk menghasilkan pilihan yang terbaik. Kemudian, pilihan tersebut juga harus disimulasikan secara komprehensif sehingga pelaksanaannya secara teknis tidak bermasalah.
”Kami berharap pembuat UU tidak mundur ke belakang untuk memisahkan antara pileg dan pilpres karena pesan MK sudah tegas bahwa pemilu serentak pileg dan pilpres akan memperkuat sistem presidensial,” kata Titi.
Apabila pembuat UU tidak menaati putusan MK ini, bisa dikatakan bahwa tindakan mereka adalah inkonstitusional. Putusan MK ini juga dinilai justru membuat pilihan model keserentakan semakin mengerucut. Pembuat UU pun dimudahkan dengan panduan yang dibuat oleh MK.