Mahkamah Konstitusi menyatakan, pemilu lima kotak bukan satu-satunya model pemilu serentak yang konstitusional. Ada lima model lain yang dapat dipilih. Pemilihan model itu diserahkan ke pembuat UU.
Oleh
Rini Kustiasih, Dian Dewi Purnamasari, dan Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menyatakan pengaturan keserentakan pemilu yang diminta oleh pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu merupakan wilayah pembentuk UU untuk memutuskannya. Namun, untuk mengatur hal itu, MK menegaskan ada enam pilihan model keserentakan pemilu yang dinilai konstitusional.
MK membacakan putusan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Titi Anggraini selaku direktur eksekutifnya. Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 Ayat (1), Pasal 201 Ayat (7), dan Pasal 201 Ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sidang putusan itu dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Rabu (26/2/2020) di Jakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam putusannya, MK menyatakan permohonan pemohon agar MK menafsirkan dan mengatur kembali keserentakan pemilu menjadi pemilu lokal dan pemilu nasional, bukan merupakan kewenangan MK. Hal itu merupakan wilayah pembentuk UU untuk mengaturnya atau merupakan suatu kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy). MK mendasarkan putusannya dengan merujuk kembali maksud asali (original intent) pengubah konstitusi, serta mengelaborasikan argumentasinya dengan upaya penguatan sistem presidensial, dan maksud dari putusan terdahulu, yakni putusan No 14/PUU-XI/2013 yang mengatur konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak (presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten).
Enam model keserentakan pemilu yang tetap dapat dinilai konstitusional oleh MK ialah pemilu serentak memilih DPR, DPD, presiden/wapres, dan DPRD; pemilu serentak memilih DPR, DPD, presiden/wapres, gubernur, dan bupati/walikota; pemilu serentak memilih DPR, DPD, presiden/wapres, DPRD, gubernur, dan bupati/walikota; pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD, presiden/wapres, dan beberapa waktu setelahnya menggelar pemilu serentak lokal memilih DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/walikota; pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD, presiden/wapres, dan beberapa waktu setelahnya menggelar pemilu serentak provinsi memilih DPRD provinsi dan gubernur, serta beberapa waktu kemudian menggelar pemilu serentak kabupaten/kota memilih DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota; dan desain lainnya sepanjang tetap menjaga keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wapres.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso mengatakan, sebagai pembentuk UU, pemerintah dan DPR harus mengkaji secara detil putusan MK tersebut.
“Dengan putusan itu, MK membuka peluang pemilu serentak itu tidak harus dilakukan dalam satu hari, dan pengaurannya merupakan open legal policy. MK juga menyatakan dalam pembentukan UU Pemilu yang baru, DPR dan pemerintah harus betul-betul mendengarkan masukan dari masyarakat sipil, dan publik secara umum,” katanya.
Putusan MK itu pun solutif karena MK menyebutkan sejumlah variasi keserentakan pemilu yang dinilai konstitusional. Ada berbagai model keserentakan dan tidak harus pemilu serentak lima kotak pada hari yang sama.
“Ada berbagai variasi, misalnya pemilu lokal dan nasional. Atau model lain, semisal presiden, DPR, DPD menjadi satu, dan kepala daerah dan DPRD itu pemilihan yang lain lagi. Tetapi dalam memilih model keserentakan harus pula dipikirkan oleh pembuat UU kerumitan-kerumitan yang mungkin terjadi, sehingga harus diantisipasi. Misalnya, dengan penggunaan teknologi,” kata Topo.
Putusan diapresiasi
Dengan keluarnya putusan MK yang memberikan keleluasaan kepada pembuat UU untuk memilih variasi keserentakan yang dinilai konstitusional tersebut, DPR mengapresiasi dan akan melaksanakannya. “Pertama, kami menghargai putusan MK. Selanjutnya, kami akan meminta salinan resminya, dan akan segera kami lakukan pembahasan di dalam Komisi II DPR, yakni melalui fraksi-fraksi sebagai perwakilan parpol di dalam DPR,” kata Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin.
Putusan MK akan memberikan dampak signifikan di dalam pembahasan rancangan UU Pemilu yang merupakan inisiatif DPR. Aziz mengatakan, putusan MK itu memberikan ruang kepada parlemen atau DPR untuk melakukam pembuatan desain atau sistem pemilu untuk diterapkan di dalam Pemilu 2024. “Bagaimana desainnya itu nanti akan dilihat dulu perkembangannya dalam proses politik dan pembahasan di dalam komisi,” kata Aziz.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, pembentuk UU akan mengkaji putusan MK itu secara mendalam. Harapannya Komisi II DPR bisa menghasilkan rumusan UU Pemilu yang menjamin pemilu demokratis, luber dan jurdil, menguatkan sistem presidensial, memantapkan kelembagaan parpol, mendorong multipartai sederhana, dan mewujudkan pemilu yang murah.
“Pembahasan RUU Pemilu akan dimulai pada masa sidang berikutnya. Sebab saat ini tenaga ahli Komisi II bersama dengan Badan Keahlian Dewan (BKD) masih menyusun naskah akademik dan draf. Karena putusan MK menyatakan ini open legal policy, pembuat UU tentu akan mengkajinya secara mendalam,” kata Arif.
Di sisi lain, Titi mewakili pemohon menilai putusan MK itu merupakan sejarah dan terobosan dalam upaya penciptaan desain pemilu.
“Meskipun permohonan kami ditolak, tetapi pertimbangan hukum mahkamah sesungguhnya mengamini permohonan kami yang meminta agar pemilu serentak lima kotak bukanlah satu-satunya pilihan konstitusional kita dalam mengatur waktu penyelenggaraan pemilu. Sehingga bagi kami ini adalah tonggak sejarah bagi pemilu Indonesia yang selanjutnya harus ditindaklanjuti dengan baik oleh pembuat UU,” katanya.