Kongres Umat Islam Indonesia diharapkan dapat membantu mencarikan solusi atas berbagai masalah yang menyangkut umat, bangsa, dan negara. Selain itu, juga mampu menghasilkan arah pembangunan nasional.
Oleh
Suhartono dan Rhama Purna Jati
·4 menit baca
PANGKAL PINANG, KOMPAS — Agar umat Islam dapat berperan lebih aktif mengisi dan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, Kongres Umat Islam Indonesia perlu didorong agar bisa menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah hasanah).
Tak hanya itu, Kongres Umat Islam Indonesia diharapkan dapat didorong untuk mampu mengurai dan mencarikan solusi atas berbagai masalah yang menyangkut umat, bangsa, dan negara. Selain itu, juga mampu menghasilkan arah pembangunan nasional dan mampu mewujudkan kualitas umat terbaik (khaira ummah) dalam lima gatra, yaitu aspek politik, ekonomi, hukum, pendidikan-kebudayaan, serta kehidupan beragama dalam wadah kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dunia sebagai manifestasi dari Islam wasathiyah dan rahmatan lil ’alamin.
Hal itu diungkapkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memberikan sambutan dalam pembukaan dan taaruf (berkenalan) dengan peserta Kongres Umat Islam Indonesia VII di Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (26/2/2020) malam.
Acara dihadiri pula oleh sejumlah menteri dan pimpinan Majelis Ulama Indonesia dan Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman beserta ribuan perwakilan dari organisasi massa Islam di seluruh Indonesia serta sejumlah duta besar negara sahabat.
Menurut Wapres Ma’ruf, untuk mewujudkan tema ”Strategi Perjuangan Umat Islam Mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Adil, Maju, dan Beradab”, pendekatanmya tidak menggunakan pendekatan merebut kekuasaan (struggle for power), tetapi dengan ikut berpartisipasi dan berkontribusi serta mendapat kepercayaan ikut mewujudkan dan membangun NKRI.
”Menurut saya, sebaiknya kita tidak menggunakan pendekatan struggle for power, tidak merebut kekuasaan, tetapi berkontribusi dalam kekuasaan untuk memperoleh kepercayaan-kepercayaan yang seharusnya kita dapatkan sesuai dengan peranan dan keberadaan umat kita,” ujar Wapres.
”Kalau kita melakukan perebutan, maka terjadilah adu kekuatan. Hal itu saya kira merusak tatanan dan merusak kondusivitas bangsa kita. Sekarang bagaimana memperoleh kepercayaan bahwa sebagai umat kita bisa dipercaya untuk bisa memberikan diri kita menjadi pemimpin di negeri ini,” katanya.
Sebagai umat Islam, kata Wapres, tentu komitmen keislaman dan juga komitmen kebangsaan harus diutamakan. ”Hal itu karena kita adalah sebagai warga bangsa. Kita adalah Muslim tetapi kita juga Indonesia. Oleh karena itu, melakukan langkah-langkah kita berperan dan berpartisipasi jauh lebih besar lagi membangun bangsa. Kita harus melakukan langkah-langkah yang berpegang pada dua rel itu, yaitu rel keislaman dan rel kebangsaan atau keindonesiaan,” ujarnya.
Dua rel tersebut, kata Wapres, menjadi pegangan bangsa Indonesia.
”Karena kita sudah punya kesepakatan untuk menjadikan negara ini sebagai negeri bersama. Untuk itu, seperti sudah sering saya sampaikan, saya menyebutnya bahwa negeri ini adalah negara kesepakatan. Kesepakatan yang kita lakukan adalah kesepakatan nasional yang harus kita pegang. Mengapa? Karena kita juga punya tanggung jawab keislaman. Makanya, ada dua tanggung jawab kita, yaitu tanggung jawab keislaman keagamaan dan tanggung jawab kenegaraan,” kata Wapres.
Lebih jauh, Wapres Ma’ruf menyatakan, dengan tema yang ada, harapannya umat Islam dapat mengambil peran lebih signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai bagian terbesar dari bangsa ini, umat Islam mempunyai tanggung jawab yang lebih besar pula untuk menjaga, merawat, dan memastikan arah perjalanan bangsa dan negara ini sesuai dengan kesepakatan nasional (al-mitsaq al-wathaniy) yang ada dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
”Untuk itu, melalui Kongres Umat Islam Indonesia, kita harus merapatkan barisan dan bersinergi untuk membangun umat, bangsa, dan negara sehingga Indonesia makin maju dan sejahtera dalam berbagai dimensi, seperti pendidikan, keagamaan, dan perekonomian,” kata Wapres.
”Seperti kita ketahui bersama, visi Indonesia ke depan adalah Indonesia maju, Indonesia yang sejahtera, Indonesia yang tidak hanya berada pada posisi middle-income country, tetapi kita ingin mengubah menjadi high-income country. Jadi, kuncinya adalah sumber daya manusia yang unggul. Manusia yang unggul adalah manusia yang sehat, cerdas, produktif, berdaya saing, serta berakhlak mulia dan memiliki komitmen kebangsaan. Kuncinya terletak pada pendidikan, baik formal maupun pendidikan vokasi,” katanya.
Dengan harapan kemajuan yang ingin dicapai, kata Wapres, Kongres Umat Islam Indonesia secara bersama-sama harus dapat mencegah kemungkinan adanya kelompok-kelompok yang keluar dari komitmen kebangsaan ini.
”Kita juga harus mencegah timbulnya radikalisme ataupun sikap intoleran. Radikalisme itu sebenarnya bukan soal pakaian atau penampilan luar, melainkan lebih pada cara berpikir, cara bersikap atau berperilaku, dan cara bertindak. Oleh karena itu, upaya-upaya yang harus kita lakukan adalah meluruskan cara berpikirnya, cara bersikap dan bertindaknya, dan juga gerakan-gerakannya. Upaya-upaya itu kita lakukan lewat kontraradikalisme dan deradikalisme,” kata Wapres.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Muhyidin Junaidi menyatakan, sebagai mitra kritis dan loyalis, MUI selalu bersama-sama dengan pemerintah mewujudkan kemaslahatan umat dan cita-cita bangsa Indonesia yang adil, maju, dan beradab.
”Kita saat ini berada di tengah-tengah era destruktif sehingga yang benar kadang-kadang menjadi salah. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, Kongres Umat Islam Indonesia menjadi momentum yang terbuka untuk mencari format dalam setiap penyelesaian umat dan bangsa. Kita harapkan Kongres Umat Islam Indonesia dapat menghasilkan Deklarasi Bangka Belitung yang sesuai dengan kemaslahatan umat dan bangsa,” kata Muhyidin.