Ancaman siber seperti praktik ”deepfake” ataupun ”doxing” perlu ditangani secara serius oleh penyelenggara pemilu. Diperkirakan, ancaman siber ini kian serius dari tahun ke tahun.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beragamnya ancaman siber dalam Pilkada Serentak 2020 mendesak diantisipasi penyelenggara pemilu. Serangkaian perbaikan regulasi dibutuhkan untuk memberikan respons segera sebelum segalanya terlambat.
Sebagian di antaranya teknologi deepfakes yang tengah mengintai praktik demokrasi di Indonesia. Teknologi ini memungkinkan seseorang tampil dalam video dan mengatakan hal-hal yang tidak pernah dikatakan ataupun melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mochammad Afifuddin, Senin (24/2/2020), di Jakarta mengatakan, praktik itu semacam kabar bohong yang lebih mutakhir. Ia mengatakan, pihaknya tentu tidak menginginkan Pilkada 2020 dibumbui hal-hal tersebut.
Untuk mengantisipasinya, sebagian hal yang bisa dilakukan adalah edukasi dan pendidikan pemilih kepada masyarakat. Selain itu, dengan mengatur lebih detail berbagai hal di media sosial.
”Ini yang kemarin (dalam pemilu) belum maksimal dalam pengaturan,” kata Afifuddin.
Ia menambahkan, fokus pengaturan secara lebih detail itu berupa kampanye di media sosial. Pengaturan itu mencakup sinergi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang selama ini telah memiliki kerja sama dengan Bawaslu.
Akan tetapi, terkait dengan viralitas konten deepfakes di dalam jejaring aplikasi percakapan seperti WhatsApp, sebagaimana terjadi dalam kontestasi politik di India awal bulan ini, Afifuddin menyampaikan bahwa hal itu yang belum diatur, termasuk pihak mana yang mestinya melakukan penurunan konten atau pengawasan di jejaring aplikasi percakapan tersebut. Ia menyebutkan, hal itu menyusul belum adanya peraturan KPU yang secara khusus mengatur kampanye yang terkait dengan praktik di dunia virtual.
”Dorongannya (agar) KPU harus lebih memperhatikan pengaturan di media sosial sebagai metode kampanye kekinian yang detailnya harus diatur, selain kampanye konvensional,” sebut Afifuddin.
KPU harus lebih memperhatikan pengaturan di media sosial sebagai metode kampanye kekinian yang detailnya harus diatur, selain kampanye konvensional.
Selama belum ada peraturan KPU yang secara khusus mengatur bentuk kampanye terkait, Bawaslu belum bisa banyak bergerak. Afifuddin menandaskan, setelah ada peraturan KPU terkait, baru bisa diatur dalam turunan peraturan Bawaslu mengenai hal tersebut.
Menanggapi kemungkinan makin berkembangnya ancaman siber dalam Pilkada 2020 yang terkait dengan konten kampanye, Komisioner KPU, Ilham Saputra, mengatakan, pihaknya akan merevisi peraturan KPU yang berhubungan dengan hal tersebut. Ilham memastikan bahwa KPU akan mempertimbangkan pula perkembangan teknologi dan penggunaan media sosial dan akan melakukan penyesuaian dalam aturan dimaksud.
”Akan ada FGD (diskusi kelompok terfokus) terkait dengan hal tersebut,” sebut Ilham.
Pendiri dan Ketua Communication Information System Security Research Center (CISSRec) Pratama Persadha mengatakan, ancaman nyata dari dunia siber untuk Pilkada 2020 semakin beraneka ragam. Salah satunya, berbagai jenis hoaks yang di antaranya kini ditambah dengan potensi ancaman teknologi deepfakes.
Ancaman lainnya adalah praktik doxing. Ia mengatakan, praktik mengeksploitasi data diri seseorang ini ditujukan untuk membungkam kebebasan berbicara. Selain itu juga agar seorang individu yang menjadi korban doxing tidak lagi dipercayai publik.
Ia menambahkan, dengan semakin tingginya ketergantungan masyarakat pada dunia digital, privasi akan semakin sulit dilindungi. Hal ini terutama ketika seseorang menjadi tokoh publik yang membuat ada pihak-pihak tertentu melakukan online profiling sampai ke sisi paling rahasia.
Lebih jauh, Pratama menyebutkan bahwa di Indonesia, kemampuan pihak-pihak tertentu memproduksi konten deepfakes juga relatif banyak. Hal ini akan bergantung pada ketersediaan dana yang ada.
Apalagi, sebutnya, apabila kelak teknologi kecerdasan buatan (artficial intelligence) telah mampu menyebarkan konten hoaks secara mandiri. Ia mengatakan, saat ini sudah ada AI yang bisa melakukan peretasan ke sistem target. Pratama menyebutkan, hal yang ditakutkan adalah jika hal-hal tersebut terindikasi mulai dipakai dalam dunia politik.