”Omnibus Law” Dinilai Tidak Mengatasi Tumpang Tindih Aturan
Persoalan tumpang tindih aturan selama ini ada di tataran regulasi turunan undang-undang, seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Maka, ”omnibus law” dinilai tak bisa mengatasi persoalan tersebut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Metode omnibus law dinilai tidak akan menjadi obat mujarab dalam mengatasi permasalahan tumpang tindih aturan yang menghambat iklim investasi di Indonesia. Omnibus law yang telah diserahkan pemerintah ke DPR justru akan membingungkan investor karena hanya mencabut sebagian pasal dalam undang-undang terdahulu.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, dalam diskusi bertajuk ”Sistem Presidensial, Omnibus Law, dan Tata Kelola Hukum 2005-2019” yang digelar oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Senin (24/2/2020), mengatakan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan omnibus law salah satunya untuk menyederhanakan aturan perizinan yang dinilai menghambat investasi.
Namun, Presiden dinilainya belum memetakan aturan yang sebetulnya menghambat tersebut. Bisa jadi, aturan yang menghambat itu bukanlah undang-undang (UU), melainkan peraturan pemerintah atau regulasi turunan lainnya.
Jika regulasi turunan yang menjadi persoalan, seharusnya Presiden lebih dulu membenahi peraturan tersebut.
Selain itu, kewenangan menerbitkan peraturan di bawah undang-undang yang berpotensi tumpang tindih terhadap aturan lain perlu dibatasi.
Presiden berwenang mengatur hal itu karena memiliki kewenangan yang besar di dalam sistem pemerintahan presidensial. Menurut UUD 1945, presiden memiliki kekuatan yang besar dalam hal legislasi.
”Seharusnya, Presiden menanyakan dulu kepada para menteri apa yang menyebabkan over regulasi di Indonesia? Sebab, undang-undang yang dihasilkan DPR itu tidak banyak, kok. Justru yang paling banyak peraturan menteri yang merasa memiliki kewenangan mengatur hal-hal di bawah koordinasi mereka,” ujar Charles.
Menurut dia, apa yang diungkapkan Presiden Joko Widodo saat kampanye Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 juga tidak sesuai dengan yang dilakukannya saat ini. Dalam salah satu debat di Pilpres 2019, Presiden mengatakan akan membuat badan regulasi nasional atau badan legislasi nasional untuk mengatasi peraturan yang tumpang tindih.
Namun, yang dilakukannya justru mengeluarkan omnibus law. Ditambah lagi, omnibus law, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, sarat dengan pasal kontroversial dan dinilai merugikan masyarakat. Ini menunjukkan RUU itu disusun dengan partisipasi publik yang minim.
Meski demikian, pemerintah tetap mematok target ambisius untuk mengesahkannya.
”Ini yang menjadi pertanyaan. Siapa, sih, penumpang gelap dalam RUU ini? Kok terkesan tergesa-gesa, tidak transparan, dan minim partisipasi publik?” kata Charles.
Padahal, sebelum omnibus law yang minim partisipasi publik itu, Indonesia sudah memiliki contoh yang baik dalam menyederhanakan aturan, misalnya kodifikasi UU Pemilu. Metode kodifikasi UU ini dinilai lebih efektif karena otomatis membatalkan aturan yang lama. Adapun dalam omnibus law, hanya sebagian pasal yang diambil, sementara pasal lain dalam aturan yang lama tetap berlaku.
Ini akan memunculkan kebingungan bagi investor dan pemangku kepentingan lain yang akan terdampak oleh omnibus law tersebut. ”Kalau omnibus law ini gol, akan banyak yang dibingungkan. Dari praktisi hukum saja bingung, apalagi masyarakat awam,” tegas Charles.
Praktik negara lain
Pengamat hukum dan konstitusi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Andi Syafrani, mengatakan, omnibus law menjadi sangat rumit karena cakupan pembahasan sangat luas. Jika ingin menyederhanakan aturan, seharusnya yang diatur cukup soal perizinan usaha.
Namun, realitasnya yang diatur dalam RUU Cipta Kerja soal penciptaan lapangan kerja, hingga melebar ke aturan dan kewenangan pemerintah daerah, bahkan terkait perusahaan pers. Padahal, dalam hukum, penentuan klasifikasi undang-undang yang akan dibuat sangat penting.
”Omnibus law ini menabrak ketentuan teknis hukum karena orientasinya hasil, yaitu investasi saja,” kata Andi.
Senada dengan Charles, Andi juga berpendapat akar permasalahan kerumitan izin usaha di Indonesia adalah aturan yang ada di bawah UU. Misalnya, ada banyak peraturan menteri yang justru menghambat iklim usaha. Menteri merasa itu adalah kewenangannya.
Sebagai perbandingan, Andi juga melihat kasus-kasus omnibus law di negara lain.
Turki, misalnya, pada saat mereka ingin diakui sebagai bagian dari Uni Eropa juga membuat omnibus law. Namun, aturan itu akhirnya banyak digugat di Mahkamah Konstitusi karena proses penyusunannya yang terburu-buru.
Di Kanada, omnibus law juga digugat warga karena tidak membuka partisipasi publik dalam proses pembahasannya.