Pengalaman 1998 sebenarnya bisa dipertimbangkan. Presiden Jokowi bisa melakukan koreksi konstitusional dengan menarik terlebih dahulu RUU Cipta Kerja yang ”bermasalah” dan berpotensi merusak sistem hukum.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Selasa, 29 September 1998. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal Wiranto datang ke DPR. Suasana politik panas. Unjuk rasa terjadi. Protes berseliweran. Waktu itu belum ada media sosial. Protes terjadi menyusul diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tanggal 24 Juli 1998 oleh Presiden BJ Habibie.
Salah satu pasal yang diprotes adalah Pasal 8 Ayat 1 (e) yang berbunyi: ”Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dilakukan dengan (e) pemaparan melalui media massa cetak maupun elektronik.” Dalam Pasal 9 disebutkan, penyampaian pendapat di muka umum harus memberi tahu Polri. Pasal itu ditafsirkan, sebelum media terbit, lapor lebih dulu.
Pasal itu adalah pengekangan kebebasan pers. Pasal itu mengarah pada sensor pers. Dalam buku Pasung Kebebasan-Menelisik Kelahiran UU Unjuk Rasa, Budiman Tanuredjo, 1999, terungkap pasal penyampaian pendapat di muka umum melalui media massa, ditambahkan seseorang. Maksudnya baik. Sosok orang itu sempat diperiksa Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) atas sangkaan ingin memperburuk citra Presiden Habibie. Sangkaan itu dibantah yang bersangkutan.
Pemerintahan Habibie mengambil langkah koreksi konstitusional. Mewakili Presiden Habibie, Menhankam/Pangab Wiranto mendatangi Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Hari Sabarno. Wiranto membacakan sikap pemerintah: ”…setelah mendengar pendapat dan saran anggota DPR… oleh karena itu, pemerintah menarik kembali Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu No 2/1998 dan selanjutnya pemerintah akan mengajukan RUU tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum” (Pasung Kebebasan, halaman 172).
Harian Kompas, 30 September 1998, menulis judul besar: ”Pemerintah Tarik Perppu No 2/1998”. Tajuk Rencana harian Kompas, 2 Oktober 1998, menulis, Pemerintah Justru Dihargai karena Menarik Perppu No 2/1998. Langkah koreksi pemerintah meredam gejolak. RUU Unjuk Rasa diperbaiki dan diajukan lagi ke DPR dan disahkan menjadi UU No 9/1998 yang berlaku sampai sekarang ini.
"Wiranto kini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Pengalaman tahun 1998 itu sebenarnya bisa dipertimbangkan Presiden Joko Widodo"
Wiranto kini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Pengalaman tahun 1998 itu sebenarnya bisa dipertimbangkan Presiden Joko Widodo. Presiden bisa melakukan koreksi konstitusional dengan menarik lebih dulu RUU Cipta Kerja yang ”bermasalah” dan berpotensi merusak sistem hukum. Memang ada sedikit beda konteks, yakni tahun 1998 berbentuk perppu, sedangkan tahun 2020 adalah RUU. Namun, langkah koreksi tetap bisa dilakukan.
Rumusan pasal di RUU Cipta Kerja bahwa UU bisa diubah dengan peraturan pemerintah adalah ide keblinger. Peraturan daerah bisa dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan presiden, menabrak putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal yang menghapus kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terkait pengelolaan dan perlindungan lingkungan berpotensi menciptakan bencana lingkungan.
Staf Khusus Presiden Jokowi, Dini Purwono, saat berbicara dalam Satu Meja The Forum di Kompas TV mengatakan, ”Apa kaitan pasal itu dengan penciptaan lapangan kerja. Dia menyebut, drafter RUU Cipta Kerja sepertinya salah konsep atau misunderstood instruction (Detik.com, 21/2/2020).” Apa yang dikatakan Dini soal ”salah tangkap konsep” benar adanya. Apa kaitan antara penciptaan lapangan kerja dan revisi pasal dalam UU Pers, misalnya?
Menarik kembali RUU Cipta Kerja adalah langkah konstitusional daripada hanya bersilang kata: ”itu salah ketik” atau ”salah persepsi.” Menarik draf RUU Cipta Kerja untuk dibahas bersama dalam forum lintas kementerian—apakah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional atau dikoordinasikan oleh Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet—dengan melibatkan drafter andal.
Drafter undang-undang haruslah ahli hukum berpengalaman yang memahami konstruksi, filosofi, serta sistematika sebuah UU. Bukan hanya mengandalkan sarjana hukum yang mengakomodasi daftar keinginan sejumlah pihak untuk diubah jadi pasal. RUU Cipta Kerja adalah RUU lintas departemen dan lintas wilayah. Ada isu ekonomi, ada hubungan pusat-daerah, lingkungan hidup, dan agraria soal hak guna usaha. Dan, tentu saja lintas komisi di DPR. Lintas juga berarti lintas kepentingan.
"Kesiapan Presiden Jokowi menerima masukan bagus. Namun, iklim ketakutan yang tercipta untuk bisa memberi masukan harus dilonggarkan agar bangsa tak seperti, ”tenang, tetapi menghanyutkan\'”
Kesiapan Presiden Jokowi menerima masukan bagus. Namun, iklim ketakutan yang tercipta untuk bisa memberi masukan harus dilonggarkan agar bangsa tak seperti, ”tenang, tetapi menghanyutkan”. Membiarkan pembahasan berlangsung di DPR dan mempersilakan masyarakat memberi masukan di DPR bisa merusak konstruksi hukum dalam pasal itu. Harus juga dimengerti bahwa di dalam gedung DPR akan banyak kepentingan yang membawa pesan titipan.
Langkah koreksi konstitusional adalah menarik kembali RUU Cipta Kerja, menyisir pasal titipan. Lalu, mengharmonisasikan draf di lintas kementerian, melakukan konsultasi publik meluas, dan menyerahkannya kembali ke DPR untuk dibahas menjadi UU. Jangan selalu berprinsip, ”Kalau saya mau begini, kamu mau apa.” Setelah salah ketik, jangan salah langkah pula.