Implikasi Regulasi Cipta Kerja, Pemda Bisa Lepas Tangan
Pemda berpotensi tidak akan ikut mengawasi atau bertanggung jawab karena kewenangan ditarik ke pusat. Pasal-pasal yang mengatur resentralisasi kewenangan dalam RUU Cipta Kerja harus dikaji ulang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penarikan sejumlah kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat seperti dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dapat membuat pemerintah daerah lepas tangan. Implikasi lebih jauh, bisa membuat relasi pusat dan daerah tidak harmonis.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng dalam diskusi bertajuk ”Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Perspektif Otonomi Daerah” di Jakarta, Kamis (20/2/2020), mencontohkan penghapusan peran pemerintah daerah (pemda) dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Jika peran itu dihapuskan, suatu saat ketika terjadi kerusakan lingkungan di daerah tertentu, pemda berpotensi lepas tangan. Pemda akan menyerahkan persoalan kerusakan itu kepada pemerintah pusat karena tak ada lagi kewenangan pemda melindungi dan mengelola lingkungan hidup.
Pemda tidak mungkin memperbaiki lingkungan yang rusak dengan misalnya mengucurkan anggaran daerah karena hal itu akan dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). ”BPK akan mempermasalahkan karena pemda membiayai suatu kegiatan yang bukan wewenangnya,” katanya.
Tak sebatas itu, pemda berpotensi tidak akan mau mengawasi izin-izin terkait lingkungan yang dikeluarkan oleh pusat. ”Semua izin dikeluarkan pusat, mana mungkin pemda mau ikut mengawasi,” ujar Robert.
Implikasi dari hal ini, bisa saja membuat repot pemerintah pusat karena harus menurunkan aparaturnya untuk mengawasi izin-izin yang dikeluarkan. Namun, bisa juga membuat hubungan pusat dan daerah tidak harmonis. Pasalnya, terbuka kemungkinan pusat akan tetap meminta pemda mengawasi izin yang dikeluarkan oleh pusat karena pemda merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah.
Berangkat dari contoh itu, pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR, hendaknya mengkaji lebih dalam pasal-pasal yang akan menarik kewenangan pemda ke pusat berikut implikasinya. Jika tidak hati-hati, penarikan kewenangan bisa berdampak pada pelayanan publik.
”Di RUU (Cipta Kerja) ini, pembagian urusan pemda dikacaukan. Coba dudukkan kembali urusan itu," kata Robert.
Selain soal resentralisasi kewenangan, dari kajian KPPOD, ada sejumlah pasal lain dalam RUU Cipta Kerja yang harus ditinjau ulang karena akan membangun konstruksi pemda tidak sejalan dengan konstitusi, bertentangan dengan konsep otonomi daerah, dan bertentangan dengan ketentuan hukum lainnya. Pasal dimaksud Pasal 163, Pasal 164, dan Pasal 166.
Pasal 166, misalnya, menyebutkan peraturan presiden (perpres) bisa membatalkan peraturan daerah (perda). Ketentuan ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini menyatakan kewenangan pembatalan perda ada di Mahkamah Agung.
Robert menduga lahirnya Pasal 166 itu agar terjadi standardisasi dalam proses pelayanan, perizinan, serta pelaksanaan program strategis nasional di daerah. Sebab, tak dimungkiri, kata Robert, ada sejumlah perda yang dipandang pusat bisa menghambat investasi di daerah.
Namun, penyelesaian persoalan itu dengan Pasal 166 tidak tepat. Sebab, pembatalan perda oleh perpres jelas-jelas bertentangan dengan putusan MK. Menurut Robert, solusi yang paling masuk akal adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) lebih serius saat mengevaluasi rancangan peraturan daerah yang disodorkan oleh pemda.
”Pembinaan dan pengawasan harus sejak rancangan perda, sejak usulan judul. Kemendagri harus tegas, jangan memberikan nomor registrasi perda kalau rancangan perda bermasalah,” kata Robert.
Belum diputuskan
Terkait isu resentralisasi kewenangan tersebut, pada 19 Februari lalu, di Bali, Kemendagri menggelar rapat dengan asosiasi-asosiasi pemda. Namun, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, belum ada keputusan dari rapat tersebut.
Ditanyakan ada tidaknya masukan atau keberatan dari asosiasi-asosiasi pemda, Akmal enggan membeberkannya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Muhammad Hudori mengatakan, pihaknya telah menyiapkan draf perbaikan terkait pasal-pasal resentralisasi dalam RUU Cipta Kerja.
Namun, dia pun enggan membeberkan perbaikan dimaksud. Dia juga enggan menjelaskan alasan di balik perbaikan. Hudori hanya menyebutkan materi dalam RUU jangan sampai mengurangi kewenangan pemda. Jangan pula aturan menabrak peraturan yang lebih tinggi karena berpotensi dibatalkan oleh MK.
”Draf perbaikan sebenarnya sudah ada. Kami akan koordinasi dulu dengan asosiasi karena ini, kan, menyangkut urusan, kewenangan, pemda,” kata Hudori.