Persoalan pada Sistem Informasi Keimigrasian Membahayakan Keamanan Negara
Hasil investigasi tim independen Kemenkumham menemukan ada masalah di sistem informasi imigrasi yang membuat data Harun Masiku, tersangka kasus dugaan suap terhadap bekas anggota KPU, terlambat diterima Imigrasi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelalaian vendor dalam menghubungkan data perlintasan membuat keberadaan bekas calon anggota legislatif PDI-P, Harun Masiku, menjadi simpang siur. Persoalan dalam sistem informasi imigrasi ini membahayakan keamanan negara karena orang akan dengan mudah keluar dan masuk Indonesia tanpa terdeteksi.
Harun Masiku ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 9 Januari karena kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu DPR terpilih 2019-2024. Harun diduga menyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan.
Awalnya Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham menyampaikan, berdasarkan data perlintasan, Harun bertolak ke Singapura pada 6 Januari 2020 dan sejak saat itu belum kembali ke Indonesia. Namun, baru pada 22 Januari, Ditjen Imigrasi menyatakan, Harun sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari. Keterlambatan sistem informasi imigrasi dijadikan alasan kesimpangsiuran data perlintasan Harun.
Akibat kesalahan itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membentuk tim independen untuk menyelidiki masalah tersebut. Tim independen itu merupakan gabungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, dan Ombudsman RI. Adapun Ombudsman menjadi pengawas eksternal.
Anggota tim gabungan independen dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Syofian Kurniawan, mengatakan, dari hasil pemeriksaan CCTV dan komputer konter, Harun telah masuk ke Indonesia pada 7 Januari 2020. Namun, data tersebut tidak terkirim dari komputer Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta ke server lokal bandara dan seterusnya ke Pusat Data Keimigrasian (Pusdakim) di Ditjen Imigrasi.
Setelah mengecek pada komputer konter Terminal 2F, data yang tidak terkirim mulai tanggal 23 Desember 2019. ”Data tidak terkirim karena kesalahan konfigurasi Uniform Resource Locator (URL) pada saat melakukan perbaikan Simkim (Sistem lnformasi Manajemen Keimigrasian) versi 1 ke 2 pada 23 Desember 2019,” kata Syofian dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Ia menjelaskan, kesalahan tersebut terjadi karena pihak vendor lupa menghubungkan data perlintasan pada komputer konter Terminal 2F dengan server lokal bandara dan server di Pusdakim Ditjen Imigrasi.
Sejak 23 Desember 2019 sampai 10 Januari 2020 terdapat 120.661 data perlintasan orang yang tidak terkirim, salah satunya data Harun. Setelah dilakukan perbaikan, data kedatangan Harun dari Singapura ke Indonesia pada 7 Januari 2020 baru terkirim ke server Pusdakim pada 19 Januari 2020 pukul 22:06:29 WIB. Hal ini terjadi karena proses sinkronisasi data perlintasan dilakukan secara bertahap.
Adapun data keberangkatan Harun di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta pada 6 Januari 2020 dapat dilihat di Server Pusdakim Ditjen Imigrasi karena komputer keberangkatan yang ada di Terminal 3 tidak ada permasalahan sistem.
Syofian mengatakan, tim gabungan merekomendasikan perbaikan sistem pada sinkronisasi data. Terkait dengan sanksi untuk vendor yang melakukan kesalahan, hal tersebut merupakan wewenang menteri.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, menyampaikan, Ombudsman menghormati temuan tim gabungan. Namun, Ombudsman belum bisa memberikan konfirmasi atas hasil tersebut dengan temuan Ombudsman karena masih dalam proses pemeriksaan.
Membahayakan negara
Ketua Lembaga Riset Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengatakan, dalam proses instalasi atau peningkatan sistem sebesar terminal di bandara, tidak mungkin langsung dipasang di perangkat aslinya.
”Orang yang memasang instalasi tersebut pasti akan mencobanya terlebih dahulu di komputer lain. Ketika sudah berfungsi, baru dipasang di perangkat komputer yang digunakan,” ujar Pratama.
Dia juga heran ketika sistem di bandara dapat mati. Padahal, sistem tersebut berguna untuk mengirimkan semua data orang yang masuk ke Indonesia untuk dikirim ke pusat. Salah satu kejanggalan lain dari tim gabungan, menurut Pratama, tidak adanya audit digital forensik yang dilakukan oleh tim independen di luar pemerintah.
”Seharusnya perlu dicari sistem yang dipakai mana, ada kesalahan tidak, ada data yang tidak terkirimkah? Siapa yang akses terakhir, detail jam berapa? Itu semua bisa ketahuan,” ujar Pratama.
Dia menegaskan, jika server tersebut dapat dengan mudah dihidupkan dan dimatikan, hal itu akan membahayakan negara. Sebab, orang akan dengan mudah keluar dan masuk Indonesia tanpa terdeteksi.
Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch Tama S Langkun juga menyangsikan temuan tim gabungan independen tersebut. Menurut Tama, melihat ada kata independen, seharusnya tim gabungan tersebut juga diisi oleh orang-orang dari nonpemerintah sehingga hasilnya dapat dipercaya publik.
”Tim tersebut berisi orang-orang dari pemerintah semua. Mereka tidak melibatkan pihak luar, seperti akademisi atau auditor yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah,” ujar Tama.
Di sisi lain, keterlambatan data tersebut merupakan masalah besar bagi negara karena dapat dipergunakan oleh orang yang dicekal pergi ke luar negeri. Apalagi, kesalahan tersebut terjadi di Bandara Soekarno-Hatta yang menjadi gerbang negara.
Harun diburu
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK masih berusaha mencari Harun dan para tersangka lain yang masuk daftar pencarian orang. ”Jika para tersangka menggunakan teknologi, kami dapat menelusurinya. Jika seseorang menggunakan telepon genggam atau media sosial, itu sangat mudah sekali,” kata Ali.
Akan tetapi, hingga saat ini para tersangka tersebut tidak menggunakan teknologi itu sehingga KPK kesulitan melacak keberadaan mereka. Meskipun demikian, KPK dibantu kepolisian terus mencari mereka hingga di luar Jakarta. Saat ini KPK terus memantau. Namun, Ali tidak mau memberitahukan daerah mana saja yang dipantau.
KPK berkomitmen menemukan tersangka karena ingin menyelesaikan berkas perkara agar bisa dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. ”Kalau tidak ditemukan, itu akan menjadi tanggung jawab karena untuk menyelesaikan berkas perkara dan disidangkan ya harus ditemukan,” ujar Ali.