Ketidakmampuan mengatasi tantangan berdampak pada popularitas partai politik dan citra parpol di mata publik. Pemerintah dinilai harus ikut terlibat dalam membenahi parpol.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Deklarasi damai Pemilu 2019 di Istana Gubernur Sumatera Selatan, Jumat (22/3/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi menghadapi setumpuk tantangan. Ketidakmampuan mengatasi tantangan tersebut berdampak pada citra partai di mata publik.
Peneliti rekanan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Ward Berenschot, dalam seminar bertajuk ”Konsolidasi Demokrasi Menuju Keadilan Sosial”, di Jakarta, Senin (17/2/2020), mengatakan, tantangan yang dihadapi partai politik itu di antaranya mengatasi tingginya biaya politik, maraknya transaksi politik, oligarki dan ketidaksetaraan politik, politisasi birokrasi lokal, dan mahar politik.
”Ongkos politik di Indonesia itu mahal. Kalau mau maju sebagai anggota legislatif atau kepala daerah, harus ada uang dan backing. Akibatnya ada ketidaksetaraan, setiap kelas sosial tidak diwakili politik secara setara,” kata peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, itu.
Ketidakmampuan mengatasi tantangan itu tak pelak berdampak terhadap popularitas parpol dan citra parpol di mata publik.
Suasana kampanye terbuka calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Lapangan Sultan Maulana Yusuf, Serang, Banten, Minggu (24/3/2019). Selain Joko Widodo, hadir juga petinggi partai politik pengusung pasangan petahana ini.
Di ajang pemilu, misalnya, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Berenschot, pemilih lebih mempertimbangkan popularitas kandidat dibandingkan dengan parpol pengusungnya. Akibatnya, kandidat tidak bisa bergantung pada kemampuan mesin partai untuk memobilisasi suara. Mereka lebih memilih membentuk tim sukses sendiri.
”Kalau kami lihat saat kampanye pilkada, misalnya, seorang kandidat tidak terlalu membutuhkan jaringan parpol, tetapi justru timses (tim sukses) mereka sendiri. Dalam spanduk calon pun justru kalau dilihat dari dekat bukan logo parpol, melainkan organisasi yang mendukung kampanye calon,” ujar Berenschot.
Apalagi, selama ini hubungan antara parpol dan publik sangat berjarak. Parpol tidak dekat dengan persoalan yang dihadapi masyarakat dan, menurut dia, tidak terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan publik.
Kampanye akbar pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
Hal itu berbeda dengan yang terjadi di India. Menurut dia, hubungan antara parpol dan masyarakat di India lebih dekat. Parpol sangat sibuk dan aktif berkomunikasi dengan masyarakat dan berperan menjembatani permasalahan warga dengan pemerintah.
Selain Ward Berenschot, hadir pula dalam seminar itu pendiri LP3ES Emil Salim, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto, dan Wakil Rektor I Universitas Diponegoro, Semarang, Budi Setiyono.
Emil Salim berpendapat, pemerintah harus terlibat dalam pembenahan partai politik tersebut. Itu di antaranya dengan memperbaiki sistem demokrasi untuk menangkal tumbuh suburnya oligarki politik.
Selain itu, tingginya biaya politik bisa diatasi dengan regulasi pemerintah. Hal ini misalnya dengan mengambil alih beban parpol dalam membiayai calon yang diajukannya di pemilu. Dana pemerintah ini nantinya diaudit oleh akuntan publik secara terbuka dan transparan.
Menjelang Pilkada Tangerang Selatan 2020, sejumlah figur sudah ramai mengenalkan dirinya. Ini seperti terlihat di Jalan Aria Putra, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (18/1/2020).
Adapun Wijayanto menyoroti praktik demokrasi di Indonesia yang dilihatnya mengalami kemunduran. Menurut dia, kekuasaan politik di Indonesia terlihat nyata digunakan lebih besar untuk berpihak kepada pemilik modal. Bahkan, ujarnya, praktik penguasa saat ini sudah menunjukkan gejala otoritarianisme.
Pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang sembunyi-sembunyi dan terkesan dipaksakan misalnya. Kemudian tindakan-tindakan penguasa yang menyangkal legitimasi lawan politik serta pembatasan terhadap kebebasan sipil.
”Hal ini yang harus lebih kita kritisi. Sebab, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini sudah menunjukkan gejala rezim otoritarianisme,” ujar Wijayanto.
Sementara itu, Wakil Rektor I Universitas Diponegoro Budi Setiyono menilai, masyarakat Indonesia masih memiliki rasa memiliki (sense of belonging) yang rendah terhadap bangsa dan negara. Hal itu karena 60 persen masyarakat masih hidup di luar perlindungan hidup yang diberikan negara. Kesejahteraan yang diamanatkan UUD 1945 masih bersifat parsial dan tersegmentasi. Dengan demikian, warga merasa mereka harus berjuang sendiri, tanpa merasakan kehadiran negara dalam mengatasi persoalan hidupnya.