Kongres Parpol, dari Diledek di TikTok hingga Kegagalan Pendidikan Politik
Kongres lima partai politik dalam beberapa bulan terakhir memupuskan harapan masyarakat akan pembelajaran demokrasi yang ideal. Baik kericuhan maupun ketiadaan regenerasi pemimpin jauh dari harapan publik.
Video parodi yang diunggah akun @idilbetespongsimp di aplikasi video TikTok masih viral hingga Jumat (14/2/2020). Di TikTok, akun tersebut tercatat ditonton hingga 799 kali dengan 69 like dan 8 komentar. Namun, persebarannya di media sosial lain tidak terhitung. Sempat menjadi trending topic di Twitter, pembicaraannya di Facebook pun belum usai.
Gambar bergerak berdurasi 15 detik itu menampilkan delapan laki-laki yang mengangkat kursi sambil berhadap-hadapan. Seolah-olah akan saling melempar, mereka rupanya justru berjoget dengan latar belakang lagu remix berjudul ”Siapa Benar Siapa Salah”.
Adegan, properti, dan latar tempat video itu tidak asing. Mirip dengan properti dan suasana di Ballroom Phinisi Hotel Claro, Kendari, Sulawesi Tengggara, yang menjadi lokasi Kongres V Partai Amanat Nasional (PAN) pada Senin-Rabu (10-12/2/2020). Sekalipun tidak dijelaskan, video tersebut jelas merupakan respons atas kericuhan yang terjadi pada Kongres V PAN.
Tiga hari lalu, sejumlah kader pendukung Mulfachri Harahap dan Zulkifli Hasan saling dorong, melempar botol air minum, bahkan saling lempar kursi jelang pemilihan ketua umum PAN periode 2020-2025. Kericuhan berlangsung cukup lama dan baru usai saat Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Merdisyam dan sejumlah anggota polisi lainnya melerai mereka.
Baca juga: Noda Demokrasi di Partai Matahari
Akibat kericuhan tersebut, empat orang terluka. Sejumlah elite PAN menyesalkan kejadian tersebut, salah satunya Dradjad Wibowo yang juga menjadi satu dari tiga kandidat ketua umum. Menurut dia, tindakan itu telah menodai demokrasi yang dibangun partai sejak berdiri pada 1998 (Kompas, 12/2/2020).
Kericuhan itu sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Lima tahun yang lalu, aksi lempar kursi juga mengiringi terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum PAN periode 2015-2020 dalam Kongres IV PAN di Nusa Dua, Bali. Kala itu, 10 kursi dilempar peserta dan mengakibatkan salah seorang pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PAN Kabupaten Karo, Sumatera Utara, terluka di kepala.
Alih-alih geram, masyarakat menunjukkan keprihatinan dengan gelak tawa. Illian Deta Arta Sari, misalnya, mengunggah ulang video milik akun @idilbetespongsimp di Facebooknya dan menuliskan, ”Para pekerja hotel tempat kader PAN ricuh kemarin punya selera humor yang oke. Hi-hi-hi.. Sambil beberes, mereka main TikTok jejogetan plus ala-ala rekonstruksi ricuh hi-hi. Tarik maaaang... wakaka.”
Unggahan itu disambut warganet, diputar lebih dari 3.000 kali dan ada 51 akun yang membagikannya. Dari 38 orang yang memberikan komentar, sebagian besar berujar dengan humor.
Di balik canda tawa, Dedy Darmawan (26), warga Tebet, Jakarta Selatan, mengaku menyesalkan kejadian tersebut. Menurut dia, para pelaku politik semestinya memberikan contoh yang baik karena hakikatnya negara ini pun ada berkat proses politik. ”Contoh buruk sama saja mencederai wibawa negara, masyarakat awam bisa semakin apatis terhadap politik,” katanya.
Apatisme, kata Dedy, bisa berdampak lebih buruk dalam jangka panjang, yaitu minimnya partisipasi politik generasi muda. Menurut dia, hal itu juga menjadi salah satu penyebab minimnya auktor yang tampil dan terpilih untuk memimpin dalam panggung politik nasional.
Dedy melanjutkan, melalui kericuhan tersebut, partai juga tampak tak berniat mengedukasi politik dengan baik kepada publik. Partai dan elitenya cenderung hanya memikirkan eksistensi untuk meraih kekuasaan. ”Jelas partai gagal memberikan pendidikan politik bagi warga. Gagal total, menurut saya,” ujarnya.
Hal serupa dikatakan Yusuf Bachtiar (27), warga Kota Bekasi, Jawa Barat. ”Partai saat ini belum bisa memberikan pendidikan politik kepada warga. Nuansa yang dibangun para elite saat ini enggak bisa juga disebut demokratis,” kata Yusuf.
Baca juga: Kursi dan Anarki di Kongres PAN
Ia mengaku sempat menaruh harapan lebih pada PAN yang berdiri dengan semangat reformasi dan memiliki tradisi demokratis, seperti selalu memilih ketua umum dengan cara pemungutan suara. Sejumlah tokoh muda progresif juga mulai muncul dari PAN.
”Namun, kericuhan membuat saya kehilangan respek. Ternyata partai punya punya sisi barbar juga,” katanya.
Mereka juga tampak tidak mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingan individu atau kelompoknya.
Sebelumnya, Zulkifli Hasan yang terpilih kembali memimpin PAN periode 2020-2025 mengatakan, pertarungan untuk memperoleh kursi nomor satu di partai memang ketat. Dinamika kerap terjadi sebagai wujud demokrasi internal. Namun, itu semua akan usai seiring berakhirnya kongres.
Direktur Pusat Kajian Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Aditya Perdana mengatakan, konflik berujung kericuhan di Kongres V PAN wajar jika dinilai buruk oleh masyarakat. Sebab, dalam konteks pendidikan politik, para elite tak menunjukkan kedewasaan.
”Mereka juga tampak tidak mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingan individu atau kelompoknya,” kata Aditya.
Namun, dari perspektif kajian politik, partai yang terdiri atas beragam faksi sebenarnya menggunakan kongres sebagai mekanisme penyelesaian seluruh konflik yang ada. Sejumlah kelompok yang berbeda pandangan akan bernegosiasi untuk menuntaskan masalah.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes membenarkan, kericuhan di PAN memang bakal menjadi catatan buruk dan bisa saja ditiru masyarakat. Oleh karena itu, ke depan partai politik secara umum perlu memperbaikinya dengan membuat kejelasan aturan main, transparansi administrasi, dan penegakan hukum dalam mekanisme pemilihan ketua umum.
Tak ada regenerasi
Yusuf mengatakan, selain kericuhan PAN, kongres empat partai sebelumnya juga memupuskan harapan masyarakat akan pembelajaran demokrasi yang ideal. Mulai dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, hingga Partai Golkar memilih ketua umumnya secara aklamasi. Seluruhnya juga memilih petahana ketua umum sehingga tidak ada regenerasi.
Baca juga: Kongres V PDI-P, Regenerasi dan Rekonsiliasi
Padahal, ketua umum di sejumlah partai politik itu sudah memimpin dalam waktu cukup lama. Megawati Soekarnoputri, misalnya, sudah memimpin partainya sejak masih bernama PDI sejak 1993. Muhaimin Iskandar dari PKB pun hampir sama, sudah menjadi ketua umum dari tahun 2005. Sejak didirikan pada 2011, Nasdem pun masih selalu dipimpin Surya Paloh.
Adapun Golkar, baru pertama kali memulai tradisi ketua umum dua periode. Airlangga Hartarto, yang menjabat sejak 2017 untuk menggantikan Setya Novanto yang tersangkut kasus korupsi, terpilih kembali untuk periode 2019-2024.
Arya mengatakan, hal itu mengejutkan bagi Golkar yang sudah mereformasi partai pasca-reformasi 1998. Sejak Orde Baru runtuh, partai berlambang pohon beringin itu dikenal sebagai partai modern yang demokrasi internalnya relatif berlangsung dengan baik. Salah satunya tampak dari kemampuan mengelola faksi secara terlembaga dan pemilihan ketua umum secara demokratis.
Namun, pada 2019, saat Airlangga bertarung dengan Bambang Soesatyo, sejarah demokratisasi partai tampak bergeser. Laga di antara keduanya berakhir dengan negosiasi tertutup yang tak diketahui publik. Saat itu, baik Airlangga maupun Bambang mengatakan, konflik disudahi demi kepentingan yang lebih besar, yaitu keutuhan partai.
Sejarah baru juga tengah diukir PAN. Zulkifli Hasan adalah sosok yang mampu menembus mitos kepemimpinan dua periode di PAN. Hal yang tidak pernah dilakukan tiga ketua umum sebelumnya. Bahkan, Amien Rais yang merupakan pendiri dan tokoh sentral partai pun hanya menjabat satu periode.
Perubahan besar di PAN itu terjadi karena ada kecenderungan untuk menggeser bayang-bayang Amien Rais.
Menurut Aditya, perubahan besar di PAN itu terjadi karena ada kecenderungan menggeser bayang-bayang Amien Rais. Sekalipun tak memimpin partai, dominasi tokoh reformasi itu tidak bisa dihindarkan, terutama pada pengambilan keputusan terpenting partai, seperti pemilihan ketua umum. Seluruh ketua umum yang pernah terpilih merupakan tokoh yang mendapat dukungan langsung Amien Rais.
Kini, masyarakat tengah menunggu gelaran kongres dari empat partai lain yang memiliki perwakilan di parlemen. Harapan akan pembelajaran politik dan demokrasi yang mumpuni jelas masih ada. Namun, apa yang akan terjadi jika lima dari total sembilan partai saja sudah membuyarkan harapan itu? Biar waktu yang menjawab.