Tanpa Pemiskinan Koruptor, Korupsi Akan Tetap Merajalela
Para penegak hukum di Indonesia, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, cenderung hanya menerapkan pasal tindak pidana korupsi, tidak beriringan dengan pasal tindak pidana pencucian uang.
Penanganan kasus korupsi seharusnya menitikberatkan pada follow the money (menelusuri aliran dana), bukan hanya follow the suspect (menangkap dan memidanakan pelaku kejahatan). Sebab, esensi kasus korupsi adalah kejahatan untuk menguntungkan dan memperkaya diri sendiri.
Namun, penegak hukum di Indonesia, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih lebih cenderung hanya menerapkan pasal tindak pidana korupsi, tidak beriringan dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Akibatnya, kerugian keuangan negara akibat korupsi tidak kembali secara maksimal.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, Kamis (13/2/2020), menjelaskan, potensi korupsi di Indonesia dapat dihitung dengan mengambil 30 hingga 40 persen dari alokasi dana di sektor pengadaan barang dan jasa. Penghitungan ini didasarkan pada kasus-kasus yang ditangani oleh penegak hukum.
Merujuk pada data Kementerian Keuangan, alokasi belanja barang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 sebesar Rp 338,83 triliun. Dengan begitu, potensi korupsi di Indonesia mencapai Rp 135,53 triliun.
Data ICW, pada 2018, jumlah kerugian negara akibat korupsi yang ditangani oleh penegak hukum hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Khusus untuk penindakan atas pencucian uang sebesar Rp 91 miliar.
Baca juga : Selama 4 Tahun Terakhir, KPK Selamatkan Uang Negara Rp 63,9 Triliun
Pada periode yang sama, ada 454 kasus korupsi yang ditangani penegak hukum. Dari total kasus yang ditangani, hanya 7 kasus yang dikenai pasal TPPU, 1 kasus ditangani kejaksaan, dan 6 kasus ditangani KPK.
Data KPK pun demikian, penerapan pasal TPPU dalam kasus korupsi selama empat tahun terakhir masih rendah. Pada 2016-2019, KPK menerapkan pasal TPPU pada 3 kasus (dari 423 kasus), 8 kasus (dari 514 kasus), 6 kasus (dari 736 kasus), dan 3 kasus (dari 550 kasus).
Berangkat dari keadaan ini, pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi tentu belum maksimal. Data Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan, kerugian keuangan negara di Indonesia akibat korupsi terhitung dari 2001 hingga 2015 mencapai Rp 203,9 triliun.
Namun, hukuman finansial atau uang yang kembali ke negara hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10,42 persen yang diputus dalam pengadilan. Lantas, siapa yang menanggung kerugian sebesar Rp 182,64 triliun?
Baca juga : Ekonom Menilai UU KPK Bisa Mengancam Kesejahteraan Masyarakat
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Rimawan Pradiptyo menyampaikan, yang akan menanggung kerugian tersebut adalah pembayar pajak. Dapat dikatakan, hanya di Indonesia koruptor disubsidi oleh masyarakat, bahkan oleh generasi di masa mendatang.
Masih dalam kajian
Saat uji publik proses seleksi calon pimpinan (capim) KPK pada Agustus 2019, kelima capim yang kini menjadi pimpinan KPK menyatakan komitmen mereka dalam menerapkan pasal TPPU pada setiap kasus korupsi. Mereka sepakat menyatakan pentingnya penerapan pasal TPPU untuk mengoptimalkan pengembalian aset negara yang dirampas.
Unsur pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar, menyatakan, pimpinan kini masih menganalisis sekitar 300 berkas tunggakan kasus, mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan. Menurut dia, analisis terhadap seluruh berkas kasus diharapkan selesai paling lama pada akhir Februari 2020.
Ke depan, Lili menegaskan, penerapan pasal tindak pidana korupsi akan sejalan dengan pasal TPPU. ”Aturan terkait hal ini masih dikaji apakah pedomannya memang sudah ada di KPK atau belum,” ujarnya.
Begitupun yang disampaikan unsur pimpinan KPK, Nawawi Pomolango. Pimpinan KPK sudah meminta agar dibentuk satuan tugas khusus TPPU, tetapi masih dalam kajian oleh Deputi Penindakan dan Direktorat Pengaduan Masyarakat.
Baca juga : Panitia Cecar Peserta dengan Kasus Pencucian Uang
”Insyaallah, kami commit dengan optimalisasi penerapan TPPU. Namun, kendalanya memang mengubah atau memperkenalkan sistem model yang baru terkadang harus dihadapkan dengan banyak ’gerutuan’ dari yang merasa sistem yang ada telah sangat baik,” tutur Nawawi.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Oce Madril menilai, semestinya dalam setiap kasus korupsi juga diterapkan pasal TPPU untuk mengejar dan menyelamatkan aset yang dirampas koruptor. Dengan begitu, kombinasi penerapan pasal tindak pidana korupsi dan pasal TPPU akan lebih membuat efek jera bagi koruptor.
”Kalau kita lihat, regulasinya ada, penerapan regulasi terhadap beberapa kasus pun sukses dan tidak ada kendala yang berarti. Artinya, memang lebih kepada kebijakan dari penegak hukum, sejauh mana mereka punya perhatian dengan TPPU dalam konteks pemulihan aset dan pemiskinan koruptor,” tutur Oce.
Rp 1 miliar ke Rp 500 miliar
Pada Oktober 2019, KPK menyelesaikan penyidikan perkara dugaan TPPU dengan tersangka Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan. Sampai saat ini, KPK menyita sejumlah aset dengan nilai sekitar Rp 500 miliar.
Wawan menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pemberian fasilitas atau perizinan keluar Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin. Kasus ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan atas suap Rp 1 miliar dari Wawan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait sidang perkara gugatan Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi tahun 2013.
Saat penyidikan, KPK mendapat fakta, uang sebesar Rp 1 miliar yang digunakan Wawan untuk menyuap Akil Mochtar berasal dari perusahaan miliknya, yakni PT Bali Pacific Pragama. Atas suap yang dilakukan, pada 2006-2013, Wawan mendapatkan 1.105 kontrak pengadaan barang dan jasa dari Pemerintah Provinsi Banten dan beberapa kabupaten di Provinsi Banten dengan total nilai kontrak lebih kurang sebesar Rp 6 triliun.
Selain itu, Wawan juga diduga memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan para pejabat di Provinsi Banten untuk mendapat kontrak. Hal ini sejalan dengan kedudukan kakak kandung Wawan, yakni Atut Chosiyah, yang menjabat Wakil Gubernur Banten 2002-2007 dan Gubernur Banten 2007-2014.
Sepanjang 2006-2013, KPK terus mengumpulkan data, termasuk data terkait dengan aset Wawan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. KPK pun membutuhkan kerja sama lintas negara karena ditemukan aset-aset yang berada di Australia.
Analisis atas aset milik Wawan dan Bali Pacific Pragama serta perusahaan lain yang terafiliasi dilakukan selama lima tahun sejak 2014 hingga 2019. Penyidikan ini untuk membuktikan keterkaitan aset dengan hasil kejahatan yang berasal dari keuntungan proyek serta unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi dan TPPU.
Melalui penerapan pasal TPPU, KPK menyita uang tunai sebesar Rp 65 miliar dan 68 unit kendaraan roda dua dan roda empat atau lebih, serta 175 unit rumah atau apartemen atau bidang tanah.
Rincian 175 unit bangunan dan bidang tanah tersebut adalah 7 unit apartemen di Jakarta dan sekitarnya, 4 unit tanah dan bangunan di Jakarta, 8 unit tanah dan bangunan di Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, 1 unit tanah dan bangunan di Bekasi, 3 unit tanah di Lebak, 15 unit tanah dan peralatan AMP di Pandeglang, 111 unit tanah dan usaha SPBU di Serang, 5 unit tanah dan usaha SPBE di Bandung, serta 19 unit tanah dan bangunan di Bali.
Tak hanya itu, KPK juga menyita aset yang berada di Australia saat pembelian tahun 2012-2013 dengan total sekitar Rp 41,14 miliar. Aset tersebut berupa satu unit rumah senilai 3,5 juta dollar Australia dan satu unit apartemen di Melbourne senilai 800.000 dollar Australia.
Kasus ini menjadi salah satu contoh bahwa penerapan pasal TPPU dapat lebih memaksimalkan pengembalian aset hasil korupsi. Oleh sebab itu, penegak hukum diharapkan dapat lebih serius menerapkan pasal TPPU dalam setiap kasus korupsi yang ditangani.