NU Tawarkan Harmonisasi Agama dan Budaya
Sejak menjadi tema Muktamar NU di Jombang, Islam Nusantara kerap memantik perdebatan. Karakternya yang khas, yakni harmonisasi Islam dan budaya, menjadi aspek terpenting yang ingin disumbang NU bagi perdamaian dunia.
Islam Nusantara, sejak menjadi tema Muktamar NU di Jombang, kerap memantik perdebatan. Karakternya yang khas, yakni harmonisasi Islam dan budaya, menjadi aspek terpenting yang ingin disumbang NU bagi perdamaian.
JAKARTA, KOMPAS – Islam Nusantara menjadi terminologi yang kerap memantik perdebatan sejak menjadi tema Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Namun, terlepas dari perdebatan yang mungkin timbul dari konsep tersebut, karakternya yang khas, yakni harmonisasi antara Islam dan budaya menjadi aspek terpenting yang ingin disumbangkan Indonesia bagi perdamaian dunia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan, Indonesia beruntung karena para ulama terdahulu telah mampu merumuskan harmonisasi antara keislaman dan kebangsaan. Harmonisasi itu antara lain mewujud dalam pemahaman cinta Tanah Air sebagai bagian dari iman atau hubbul wathan minal iman. Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, telah dengan cerdas dan bernas merumuskan konsep itu untuk menjawab tantangan zaman yang dihadapi umat dalam kehidupan berbangsa. Bahwasanya pertentangan antara keislaman dan nasionalisme adalah suatu hal yang tidak relevan. Di masa depan, konsep itulah yang juga ikut membangun kebangsaan Indonesia pascakolonial.
"Indonesia beruntung karena para ulama terdahulu telah mampu merumuskan harmonisasi antara keislaman dan kebangsaan. Harmonisasi itu antara lain mewujud dalam pemahaman cinta Tanah Air sebagai bagian dari iman atau hubbul wathan minal iman. Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, telah dengan cerdas dan bernas merumuskan konsep itu untuk menjawab tantangan zaman yang dihadapi umat dalam kehidupan berbangsa. Bahwasanya pertentangan antara keislaman dan nasionalisme adalah suatu hal yang tidak relevan"
“Mengikuti walisongo, KH Hasyim Asy’ari merumuskan hubbul wathan minal iman, yang mengaitkan antara konsep ilahiyah (ketuhanan) atau diniyah (keagamaan) dengan konsep taqofah (ilmu pengetahuan dan budaya) dan hadarah (kesejahteraan),” kata Said dalam acara simposium nasional bertajuk “Islam Nusantara dan Tantangan Global,” yang diadakan oleh Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), akhir pekan lalu di Jakarta.
Hadir dalam acara itu sebagai pembicara ialah Khatib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, pengamat politik Fachry Ali, pegiat Lesbumi NU Agus Sunyoto, dan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi. Simposium itu digagas oleh Fakultas Islam Nusantara di Unusia sebagai upaya untuk kian menguatkan pondasi keilmuan Islam Nusantara dalam menjawab tantangan warga bangsa di masa depan, yang tidak melulu pada kajian teologi, tetapi isu-isu kemanusiaan mutakhir seperti perubahan iklim, ekses pembangunan, urbanisasi, agraria, dan sektor-sektor lain yang menyangkut nasib rakyat secara langsung, seperti petani, nelayan, buruh, kalangan rakyat kecil lainnya, maupun kelompok menengah ke atas.
Pendekatan budaya
Said mengatakan, budaya tidak hanya diterima oleh walisongo (wali sembilan), tetapi juga menjadi infrastruktur bagi berkembangnya agama. Dengan demikian, harmonisasi keduanya menjadi landasan bagi corak keberagamaan di Tanah Air yang toleran, menghargai perbedaan, dan memelihara budaya serta jati diri bangsa.
Baca Juga: Islam Moderat Topang Indonesia Maju
Di tengah tantangan global yang tidak mudah, serta menyimak perkembangan negara-negara muslim di Timur Tengah yang dilanda konflik, lanjut Said, ikatan antara keislaman dan kebangsaan yang berbasis pada harmonisasi agama dan budaya menjadi solusi. Indonesia beruntung dengan corak keberagamaan yang semacam itu, sehingga sudah sepatutnya untuk senantiasa dipelihara dan dijaga. Islam dengan pendekatan budaya itulah yang ditawarkan Indonesia sebagai jalan perdamaian di dunia.
Susanto Zuhdi mengatakan, Islam Nusantara sebagai sebuah konsep perlu untuk diperkaya dan diperkuat sari sudut pandang bahari atau kelautan. Sebab, merujuk pada sejarah, lautan menjadi jalan masuk bagi Islam yang kosmopolit dan terbuka pada perubahan maupun dunia luar. Konsep bahari yang integral dengan terminologi nusantara itulah yang diharapkan kian dikuatkan, sehingga dalam sumbangannya membangun negeri ini, umat Islam memiliki semangat juang dan semangat kewirausahaan sebagaimana ditunjukkan para pendahulu yang berjaya di lautan, baik sebagai pedagang maupun pengusaha yang berwawasan terbuka.
Islam Nusantara pun diharapkan tidak terjebak pada “Jawa Sentris” karena karakter kalangan santri di pedalaman Jawa yang dominan. Lebih dari itu, karakter kosmopolit dan terbuka itulah yang juga harus ditumbuhkan.
Islam wasathiyah
Azyumardi Azra mengatakan, masa depan Islam adalah Islam yang wasathiyah (jalan tengah). Di negara-negara lain dengan penduduk muslim yang besar dan kerap dilanda konflik, mereka antara lain mengeluhkan belum kompatibelnya budaya dan agama. Sejumlah upaya dilakukan oleh Arab Saudi, misalnya, yang mulai terbuka. Namun, di negara-negara Timteng hal itu tidak mudah dilakukan menyelaraskan agama dan budaya. Namun, kendala itu tidak ditemui di Indonesia.
“Pada kenyataannya, hanya di Indonesialah Islam Wasathiyah itu dipraktikkan, dan belum ada di tempat lain,” kata Azyumardi.
Modal berharga ini, menurut Azyumardi, mengalami tantangan besar. Utamanya karena mulai lunturnya karakter kosmopolit dalam Islam. Padahal, karakter terbuka dan cair itulah yang memungkinkan Islam yang menempuh jalan tengah atau wasathiyah dapat tumbuh. “Dalam sejarahnya, Islam menjadi pemersatu di antara perbedaan-perbedaan yang ada di nusantara,” katanya.
Untuk memertahankan Islam Nusantara, dua ormas besar, yakni NU dan Muhammadiyah diharapkan melakukan dakwah secara lebih intens. Salah satu jalannya ialah melalui pendidikan.
"Sejak awal Islam masuk dengan memanfaatkan landasan budaya yang sudah ada. Pesantren pun ternyata memiliki kemiripan dengan sistem pendidikan Shiwa-Buddha yang disebut dengan Dukuh. Tata cara relasi sosial antara murid dan guru yang diatur di dalam Dukuh diatur sedemikian rupa dengan etiket dan tatanan tradisi yang menyerupai relasi antara santri dengan kiainya. Kemiripan itu bukan tidak mungkin disebabkan adaptasi dan akomodasi budaya oleh Islam"
Agus Sunyoto mengatakan, sejak awal Islam masuk dengan memanfaatkan landasan budaya yang sudah ada. Pesantren pun ternyata memiliki kemiripan dengan sistem pendidikan Shiwa-Buddha yang disebut dengan Dukuh. Tata cara relasi sosial antara murid dan guru yang diatur di dalam Dukuh diatur sedemikian rupa dengan etiket dan tatanan tradisi yang menyerupai relasi antara santri dengan kiainya. Kemiripan itu bukan tidak mungkin disebabkan adaptasi dan akomodasi budaya oleh Islam.
Baca Juga: RI-UEA Kembangkan Islam Damai
Fachry mengatakan, kekuatan Islam di Indonesia pada dasarnya ialah kekuatan yang adaptif, dan bukan kekuatan progresif. Sebab konsep tentang kekuasannya sangat berbeda dengan konsep pada umumnya. “Di dunia para santri, kekuasaan terbesar ada di tangan kiai. Kewibawaan tidak ada pada jabatan sekular,” katanya.
Semeentara itu, Yahya Cholil Staquf mengatakan, Islam Nusantara tidak perlu didefinisikan terlalu kaku dan rumit. Biarlah hal itu menjadi pemahaman bersama, sebab Islam Nusantara sejatinya menjadi antitesis dari wacana radikalisme yang saat ini menguat. Saat ini yang terpenting ialah membangun pola pikir baru, yakni membangun perdamaian di atas pondasi cita-cita masa depan, bukannya masa lalu.