Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menilai berkas perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan tidak memenuhi syarat formil dan materiil. Karena itu, berkas tersebut dikembalikan ke penyidik Polda Metro Jaya.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengembalikan berkas perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan kepada Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Pengembalian berkas ini dilakukan karena masih ada kekurangan syarat formil dan materiil yang perlu dilengkapi.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Jakarta Nirwan Nawawi menyatakan, jaksa peneliti mengembalikan berkas atas nama tersangka RM dan RB kepada penyidik Polda Metro Jaya pada 28 Januari 2020. Sebelumnya, berkas telah diterima Kejati DKI Jakarta pada 16 Januari.
”Sebagaimana Pasal 110 Ayat (2) KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap. Penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi,” kata Nirwan kepada Kompas, Rabu (5/2/2020).
Nirwan menjelaskan, pengembalian berkas dilakukan karena masih ada kekurangan syarat formil dan materiil yang perlu dilengkapi. Penyidik perlu melengkapinya guna memenuhi keabsahan dan unsur-unsur kualifikasi pasal yang disangkakan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono menyampaikan, berkas perkara telah dikirim ke Kejati DKI Jakarta pada 15 Januari. Ia pun membenarkan Kejati DKI Jakarta mengembalikan berkas tersebut karena belum lengkap. ”Masih dalam proses perbaikan,” ujar Argo.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, menilai, pengembalian berkas perkara jamak terjadi. Namun, hal ini menunjukkan, kepolisian tidak secara sungguh-sungguh dalam menyiapkan berkas perkara ke Kejati DKI Jakarta.
”Dalam konteks tersebut, seharusnya kepolisian dan kejaksaan berdiskusi secara kelembagaan untuk mempercepat proses penanganan perkara yang dialami oleh NB (Novel). Jika kejadian tersebut berulang, perkara NB akan berpotensi menjadi ’bola ping-pong’,” ujar Wana.
Tak sesuai
Catatan Kompas, pada 27 Desember 2019, Polri menangkap dua terduga pelaku penyiraman air keras terhadap Novel, yakni RM dan RB. Keduanya merupakan anggota kepolisian aktif.
Terhadap dua pelaku penyerangan air keras, disangkakan Pasal 170 Ayat (2) juncto Pasal 351 Ayat (2) juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman maksimal 9 tahun pidana penjara. Dalam pasal tersebut dikatakan, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun jika kekerasan mengakibatkan luka berat.
Kuasa hukum Novel Baswedan, Saor Siagian, menilai, pasal yang disangkakan tersebut tidak tepat karena penyerangan yang dilakukan terhadap Novel merupakan bentuk upaya pencobaan pembunuhan. Saor mengatakan, Novel sudah diincar sejak lama dan yang diserang adalah mata, bagian paling vital dari kerja seorang penyidik.
”Kemarin, setelah pemeriksaan Novel sebagai saksi di Markas Polda Metro Jaya pada 6 Januari, terjadi pembengkakan (di bagian mata Novel). Secara fungsi (Novel) hampir mati, ini sangat riskan,” kata Saor.
Semestinya para pelaku lapangan disangkakan Pasal 338 KUHP yang mengatakan, barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Saor juga kembali mendesak agar presiden segera membentuk tim gabungan pencari fakta independen agar tidak terjadi peradilan atau penegakan hukum yang sesat. Langkah ini pun untuk membantu kerja polisi agar lebih cepat mengusut tuntas siapa auktor intelektualis dalam kasus Novel.
”Yang saya pahami dari klien (Novel) saya, dia belum terlalu percaya yang melakukan penyerangan ini dua orang tersebut. Kami tidak mau ini menjadi peradilan sesat hanya karena menutup-nutupi sesuatu kemudian tidak tuntas diungkap,” kata Saor.
Untuk diketahui, penyerangan terhadap Novel terjadi pada April 2017. Menurut temuan tim pencari fakta bentukan Polri, salah satu temuannya, yakni penyerangan terhadap Novel didasari kasus yang ditangani Novel.
Kasus itu adalah korupsi KTP elektronik; korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar; korupsi mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi; korupsi mantan Bupati Buol, Sulawesi Tengah; dan kasus korupsi Wisma Atlet. Penyerangan Novel juga diduga terkait dengan keterlibatan Novel dalam kasus penembakan pencuri sarang burung walet di Bengkulu, 2004.