Sesuai UU No 19/2019, penyadapan sebagai senjata utama OTT KPK harus melalui banyak tahapan. Ada gelar perkara, kemudian harus izin ke Dewan Pengawas. Problematika sistem ini memperlemah kinerja penindakan KPK.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah lebih satu bulan bekerja, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi belum sekalipun mengajukan permohonan izin penyadapan untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi. Hal ini dikhawatirkan membuat KPK akan kesulitan melakukan operasi tangkap tangan atau OTT.
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menjelaskan, sejak pimpinan KPK dilantik pada 20 Desember lalu hingga saat ini, belum ada satupun permohonan izin penyadapan yang diajukan kepada Dewan Pengawas. Berdasarkan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK disebutkan, penyadapan oleh KPK harus dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.
”Berdasarkan catatan, Dewan Pengawas baru menerima lima permohonan izin untuk penggeledahan, 15 permohonan izin untuk penyitaan, dan nol permohonan izin untuk penyadapan,” ucapnya dalam rapat dengar pendapat antara Dewan Pengawas KPK, Pimpinan KPK, dan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/01/2020).
Padahal, berdasarkan catatan KPK, ada sekitar 366 kasus dugaan korupsi yang telah masuk tahapan penyelidikan. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, tidak semua kasus tersebut membutuhkan penyadapan untuk proses hukum selanjutnya.
”Saya pastikan, berdasarkan hasil rapat dengan Dewan Pengawas KPK, permohonan izin penyadapan masih nol. Hingga hari ini, kami belum melakukan penyadapan,” ucapnya.
Menurut Firli, tim KPK akan mengkaji mana saja yang memerlukan proses penyadapan dari 366 kasus tersebut. Selain itu, tim KPK juga akan menginventarisasi kasus mana saja yang akan dihentikan proses penyelidikan dan kasus mana saja yang akan dilanjutkan.
”Kalau perkara dilanjutkan, kita akan terbitkan surat perintah izin penyelidikan lanjutan. Dampaknya, akan ada beberapa perkara yang kita ajukan permohonan untuk penyadapan kepada Dewan Pengawas KPK,” ucapnya.
Anggota Dewan Pengawas KPK, Albertina Ho, menjelaskan, untuk mengajukan permohonan izin penyadapan, perlu ada mekanisme gelar perkara. Prosesnya berbeda dengan pengajuan izin untuk penggeledahan dan penyitaan yang hanya memerlukan surat permohonan.
”Selain itu, kami akan upayakan dalam 1x24 jam sudah ada keputusan dari dewan pengawas apakah izin penyadapan diperbolehkan atau ditolak oleh Dewan Pengawas KPK. Untuk menunjang ini, kami juga akan membangun sistem perizinan dengan aplikasi untuk mempermudah proses pengajuan izin,” katanya.
Memperlemah
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan, dengan tidak adanya penyadapan, dikhawatirkan akan memperlemah kinerja penindakan KPK melalui OTT.
”Sesuai UU No 19/2019, penyadapan sebagai senjata utama OTT KPK harus melalui banyak tahapan. Ada gelar perkara, kemudian harus izin ke Dewan Pengawas. Problematika sistem ini memperlemah kinerja penindakan KPK melalui OTT,” ucapnya.
Selain itu, Feri mengatakan, dengan nihilnya permohonan tersebut menunjukkan bahwa pimpinan KPK sudah tidak menganggap penting lagi proses penyadapan. Hal ini juga membuktikan bahwa pelemahan KPK bukan hanya karena diberlakukannya UU KPK yang baru, melainkan didukung pula oleh sikap para pimpinannya.
”Padahal, sepanjang pimpinan yang baru dan orang-orang Dewan Pengawas memiliki komitmen kuat untuk memberantas korupsi, tentu penindakan KPK dengan OTT tak akan hilang. Jadi, pelemahan sistem melalui UU KPK yang baru akan tertutupi oleh kebaikan dan komitmen figur-figur itu,” ujarnya.