Kenaikan Ambang Batas Parlemen Berpotensi Meningkatkan Politik Uang
Kenaikan ambang batas parlemen membuat parpol akan semakin mengandalkan politik uang. Parpol juga akan semakin banyak mengusung caleg dari kalangan pengusaha dan pebisnis agar logistik mereka selama pemilu terjaga.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·5 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Spanduk panjang partai politik peserta Pemilu 2019 terpasang di pagar halaman Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (25/8/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Wacana kenaikan ambang batas parlemen menjadi lima persen diprediksi membuat kontestasi antarpartai politik pada Pemilihan Umum 2024 semakin ketat. Ini dikhawatirkan akan meningkatkan praktik politik uang karena kerasnya persaingan antarpartai agar bisa masuk parlemen.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, memprediksi, ketatnya persaingan ini akan membuat para peserta pemilihan umum (pemilu) membutuhkan logistik yang semakin besar. Selain itu, partai politik (parpol) pun akan menghalalkan segala cara agar bisa masuk parlemen.
”Persaingan ketat ini diprediksi akan terjadi, khususnya bagi parpol yang berada di posisi menengah ke bawah dan mendapat suara 7 sampai 4 persen pada Pemilu 2019,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (26/01/2020).
Berdasarkan data hasil pemilu tersebut, ada tiga parpol yang berada di posisi menengah ke bawah, yaitu Partai Demokrat dengan 7,7 persen perolehan suara, Partai Amanat Nasional (PAN) 6,84 persen, dan Partai Persatuan Pembangun (PPP) 4,52 persen.
”Partai-partai tersebut tentunya tidak ingin bernasib seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang pada Pemilu 2019 tersingkir dari parlemen. Ketatnya persaingan ini dikhawatirkan bisa meningkatkan praktik politik uang,” kata Adi.
Adi menjelaskan, kenaikan ambang batas parlemen ini awalnya memang ditujukan untuk menyederhanakan sistem parpol. Dengan kenaikan tersebut, diharapkan bisa mengurangi jumlah parpol yang ada di parlemen.
Saat ini, ada sembilan parpol yang masuk parlemen. Banyaknya jumlah parpol di parlemen memang membuat pengambilan keputusan menjadi lebih kompleks dan rumit.
”Oleh karena itu, jumlah parpol memang seharusnya disederhanakan. Namun, dengan menaikkan ambang batas parlemen, ada juga dampak buruk yang mungkin terjadi terhadap sistem demokrasi nantinya,” ucapnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengemukakan, kenaikan ambang batas parlemen ini dapat membuat sistem politik menjadi semakin pragmatis. Parpol akan semakin mengandalkan politik uang agar bisa meraup suara di akar rumput.
”Selain itu, parpol nantinya juga akan semakin banyak mengusung calon legislatif (caleg) dari kalangan pengusaha dan pebisnis agar logistik mereka selama pemilu akan terjaga,” ujarnya.
Parpol akan semakin mengandalkan politik uang agar bisa meraup suara di akar rumput. Parpol juga akan semakin banyak mengusung caleg dari kalangan pengusaha dan pebisnis agar logistik mereka selama pemilu akan terjaga.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Bendera partai politik peserta Pemilu 2019 menghiasi jalan layang Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2019).
Menurut Titi, kenaikan ambang batas parlemen ini akan membuat banyak suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di parlemen. Selain itu, hal ini juga bisa menimbulkan praktik oligarki di kalangan elite parpol papan atas semakin kuat.
”Oleh karena itu, saya menyarankan agar penyederhanaan sistem parpol tidak dengan cara menaikkan ambang batas parlemen, tetapi dengan memperkecil jumlah kursi di dapil dan menetapkan ambang batas fraksi,” katanya.
Saat ini, lanjut Titi, jumlah besaran kursi per daerah pemilihan (dapil) paling kecil adalah tiga kursi dan paling banyak sepuluh kursi. Untuk itu, jumlahnya perlu dikurangi menjadi tiga hingga delapan kursi per dapil.
”Selain itu, diperlukan juga penetapan ambang batas fraksi sehingga hanya parpol yang memiliki perolehan suara tertentu yang boleh membentuk fraksi di parlemen. Parpol yang tidak memenuhi perolehan suara harus bergabung dengan fraksi yang telah terbentuk,” ujarnya.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Spanduk besar tentang partai-partai politik yang ikut dalam Pemilu 2019 terpampang di salah satu sudut Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (7/8/2018).
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Djarot Saiful Hidayat, mengatakan, berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I PDI-P, PDI-P menyarankan ada kenaikan ambang batas parlemen. Tujuannya adalah penyederhanaan jumlah partai sehingga dapat mengurangi biaya politik yang besar ketika pemilu.
”Kami ingin menyederhanakan jumlah parpol. Jadi, nantinya akan terkristalisasi bahwa di parlemen akan terdiri dari beberapa parpol saja. Saya bisa bayangkan, kemungkinan hanya ada tujuh atau delapan parpol yang lolos masuk parlemen pada pemilu berikutnya,” ujarnya.
Menurut Djarot, selama ini banyak parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen juga selalu ikut menjadi peserta pemilu. Ini membuat biaya politik semakin membengkak.
Selama ini banyak parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen juga selalu ikut menjadi peserta pemilu. Ini membuat biaya politik semakin membengkak.
Selain itu, Fraksi PDI-P juga mengusulkan agar mengembalikan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup.
”Kita masih mempunyai waktu lima tahun untuk membangun kualitas internal di setiap parpol agar parpol siap dengan penambahan ambang batas tersebut,” ucapnya.
Rencana kenaikan ambang batas parlemen ini juga didukung Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Ahmad Doli Kurnia Tandjung. Menurut dia, kemungkinan besar kenaikan ambang batas ini bisa dimasukkan dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilu nantinya.
”Kita sudah beberapa kali menaikkan ambang batas parlemen, mulai dari 2,5 persen menjadi 3,5 persen hingga akhirnya menjadi 4 persen pada pemilu lalu. Jika kita mau konsisten, seharusnya ambang batasnya dinaikkan menjadi 5 persen pada pemilu berikutnya,” katanya.
Doli menambahkan, Golkar bahkan sedang mengkaji agar ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 7,5 persen. Hal ini diperlukan agar jumlah partai semakin sedikit dan proses konsolidasi di parlemen semakin efektif.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PPP Arwani Thomafi menolak wacana kenaikan ambang batas parlemen 5 persen. Pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2019, PPP hanya mendapat perolehan suara 6.323.147 suara atau 4,52 persen.
Partisipasi dan kehadiran warga negara di tempat pemungutan suara (TPS) pada saat pemilu merupakan indikator bahwa demokrasi Indonesia semakin berkualitas.
”Sayang sekali jika nantinya banyak suara dari TPS yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi di DPR karena adanya kenaikan ambang batas parlemen ini,” katanya.
Sayang sekali jika nantinya banyak suara dari TPS yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi di DPR karena adanya kenaikan ambang batas parlemen ini.
Senada dengan Arwani, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang pun menolak usulan ambang batas parlemen menjadi 5 persen. Ia menyarankan agar ambang batas parlemen ini diturunkan menjadi 3 persen.
”Harusnya kita semua berunding. Jangan hanya partai-partai besar, partai yang kecil nanti ditinggalkan. Demokrasi itu, kan, kompromi, berikanlah angka yang rasional sehingga semua partai bisa ikut serta,” katanya.