MK Pertimbangkan Pendapat Ahli soal Pemilu Serentak
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam mengambil putusan terhadap perkara uji materi mengenai keserentakan pemilu, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan pendapat para ahli yang dihadirkan. Di samping itu, kesimpulan dari para pihak, baik pemohon, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat, akan menjadi bahan pertimbangan bagi mahkamah.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai pemohon atas uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyampaikan kesimpulannya, Selasa (21/1/2020) ini kepada MK. Penyampaian kesimpulan para pihak itu merupakan tahapan akhir pemeriksaan sebelum MK menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan menjadwalkan pembacaan putusan. Perludem yang diwakili oleh direktur eksekutifnya, Titi Anggraini, menguji konstitusionalitas Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU Pemilu, dan Pasal 3 Ayat (1), Pasal 201 Ayat (7), dan Pasal 201 Ayat (2) UU No 10/2016 tentang Pilkada.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono mengatakan, MK dalam memberikan putusan akan mempertimbangkan semua aspek, termasuk keterangan ahli yang dihadirkan di dalam persidangan.
Dalam perkara ini, untuk memperjelas landasan teroritis dan argumentasi hukum dalam keserentakan pemilu, MK telah mendengarkan empat ahli, yakni peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Ramlan Surbakti, dan pengajar ilmu politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan.
“Para ahli dipanggil MK untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan, yang belum diperoleh dari pendapat ahli yang dihadirkan para pihak,” kata Fajar, Senin (20/1) di Jakarta.
Dipanggilnya banyak ahli itu menunjukkan keseriusan MK dalam memeriksa perkara keserentakan pemilu dan konstitusionalitas desain pemilu. Namun, menurut Fajar, apapun putusan perkara itu akan kembali kepada pertimbangan majelis hakim.
Kuasa hukum pemohon, Fadli Ramadhanil, mengatakan, kesimpulan pemohon menegaskan kembali persoalan desain pemilu sebagai problem konstitusionalitas norma. Sebab, keserentakan pemilu berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan asas-asas pemilu di dalam konstitusi, termasuk prinsip kemurnian hak pilih dan kedaulatan rakyat.
“Isu keserentakan pemilu tidak semata-mata terkait dengan problem teknis yang dialami oleh penyelenggara, pemilih, maupun peserta pemilu. Ini adalah isu konstitusionalitas norma. Desain keserentakan pemilu akan berdampak pada desain penyelenggaraan pemilu, manajemen pemilu, hingga kemurnian hasil pemilu itu sendiri,” kata Fadli.
Putusan MK sebelumnya, yakni putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 telah memutuskan konstitusionalitas keserentakan pemilu, yakni pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) yang digelar secara bersamaan. Putusan itu direalisasikan dengan menggelar pileg dan pilpres secara serentak, tahun 2019. Namun, pada perkembangannya, menurut pemohon, asas-asas pemilu demokratik yang diatur di dalam konstitusi, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, belum sepenuhnya tercapai melalui penyelenggaraan pemilu serentak pilpres dan pileg tersebut.
Pemohon berharap MK menyempurnakan putusan keserentakan pemilu itu dengan mengatur pemisahan antara pemilu serentak nasional, yang meliputi pilpres, dan pileg tingkat nasional (DPR dan DPD), dengan pemilu serentak daerah (lokal), yakni pilkada dan pemilihan anggota DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.
“Dua ahli kami menguatkan argumentasi pentingnya MK menyempurnakan putusan terdahulu. Sifatnya bukan mengubah, karena keserentakan pileg dan pilpres sesuai dengan semangat menguatkan sistem presidensial. MK hanya perlu melengkapi putusan itu dengan mengatur pemilu nasional dan pemilu lokal, sehingga asas-asas pemilu bisa lebih terpenuhi,” kata Fadli.
Menjadi panduan
Empat ahli yang dihadirkan oleh MK guna didengar keterangannya oleh MK dalam rangkaian persidangan selama hampir dua bulan ini, menurut Fadli, merepresentasikan kesediaan MK secara terbuka dan elaboratif membahas persoalan ini dengan para pakar dan ahli di bidangnya. Empat ahli itu secara umum cenderung menyepakati ide pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Dalam kesimpulannya, pemohon meminta MK memutus cepat permohonan itu sesuai dengan permohonan mereka di dalam provisi. Sebab, pembuat UU antara lain menjadikan revisi UU Pemilu sebagai salah satu proritas dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020-2024. Dengan demikian, putusan MK bisa menjadi panduan bagi pembuat UU dalam mendesain keserentakan pemilu dalam revisi UU Pemilu.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, MK menunjukkan perhatian besar terhadap konstitusionalitas keserentakan pemilu. Perkaranya dinilai cukup rumit karena MK pada putusan terdahulu telah memutuskan pemilu serentak lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Permohonan untuk memisahkan pemilu menjadi pemilu nasional dan lokal sedikit banyak berarti “menggeser” pendapat mahkamah sebelumnya mengenai keserentakan pemilu.
“MK terlihat sangat berhati-hati dalam memeriksa perkara ini, tentu karena sebelumnya juga ada putusan soal pemilu serentak. Namun, putusan perkara ini sangat ditunggu-tunggu oleh pembuat kebijakan, dan publik, sebab apapun putusan MK ini bisa menjadi panduan bagi semua pihak dalam mendesain pemilu serentak di masa depan,” ujarnya.