Proses gugatan keserentakan pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi mulai memasuki babak akhir. Pemohon hari ini menyerahkan kesimpulan ke MK yang selanjutnya akan diikuti rapat permusyawaratan hakim, lalu sidang putusan.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Para penyandang disabilitas mengikuti simulasi pemungutan suara di Aula Museum Aceh, Banda Aceh, Aceh, Minggu (14/4/2019). Simulasi itu digelar agar memudahkan mereka memberikan hak suara saat pemilu serentak pada 17 April 2019. Di Banda Aceh terdapat 494 pemilih disabilitas.
JAKARTA, KOMPAS — Proses gugatan keserentakan pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi mulai memasuki babak akhi. Pemohon uji materi ketentuan keserentakan pemilu menyerahkan kesimpulannya pada Selasa (21/1/2020) kepada Mahkamah Konstitusi. Mereka menegaskan, isu keserentakan pemilu sebagai isu konstitusional yang terkait dengan pemaknaan norma konstitusi, bukan sekadar implementasi norma dalam praktik.
Setelah penyerahan kesimpulan, maka sembilan hakim konstitusi akan menggelar rapat permusyaratan hakim (RPH). Setelah itu, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadwalkan sidang pembacaan putusan. Pemohon adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang mengajukan uji materi terhadap konstitusionalitas Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Pasal 3 Ayat (1), Pasal 201 Ayat (7), dan Pasal 201 Ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam perkara ini, Perludem mempersoalkan pemilu serentak lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) yang dinilai konstitusionalitasnya perlu ditafsirkan kembali oleh MK. Pada Pemilu 2019, untuk pertama kalinya pemilu legislatif dan pemilihan presiden digelar bersamaan.
Kuasa hukum Perludem, Fadli Ramadhanil, mengatakan, kesimpulan tersebut disampaikan untuk menegaskan sikap akhir pemohon atas perkara tersebut dan mengelaborasi argumentasi hukum yang berkembang sepanjang jalannya persidangan.
”Pertama, dalam rangkaian persidangan, kami mengapresiasi MK karena MK dengan sangat elaboratif dan terbuka memberikan keleluasaan waktu bagi pemohon menyampaikan gagasan dan mengungkap banyak hal terkait dengan sistem pemilu serentak,” kata Fadli.
Kompas/Wawan H Prabowo
Kuasa hukum pemohon dalam sidang putusan perkara nomor 56/PUU-XVII/2019 Donal Fariz (kiri) dan Fadli Ramadhanil (kanan) menyimak pembacaan putusan yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Rabu (11/12/2019). MK menyatakan mantan narapidana harus menunggu selama lima tahun setelah bebas jika ingin maju Pilkada.
Menurut pemohon, pelaksanaan pemilu lima kotak secara serentak dianggap belum mampu memenuhi asas pemilu yang diatur dalam konstitusi, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Di dalam praktiknya, penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak juga menimbulkan sejumlah kesulitan, antara lain, banyaknya surat suara tidak sah, lamanya pemberian suara di dalam bilik suara, kebingungan pemilih dalam menyalurkan suaranya lantaran banyaknya nama-nama calon anggota legislatif yang dipasang bersamaan dalam surat suara. Selain itu, juga ada persoalan tenggelamnya isu-isu daerah dalam pergulatan isu nasional yang gaungnya lebih besar, hingga keterlambatan logistik, dan kelelahan petugas di lapangan dalam pelaksanaan pungut hitung di lapangan.
Sejumlah kesulitan dalam pemilu serentak lima kotak itu, menurut Fadli, adalah dampak ikutan dari tafsir atas norma keserentakan pemilu yang sebelumnya ditegaskan MK dalam putusan nomor 14/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, keserentakan pemilu bukan semata-mata implementasi norma di lapangan, melainkan juga menyangkut isu konstitusionalitas norma.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Rekapitulasi surat suara pasca-pemilu seperti ini membuat petugas KPPS, PPS dan PPK, serta Panwas atau Linmas kelelahan. Sebagian dari mereka bekerja sampai dini hari.
Pemohon dalam kesimpulannya juga mendapatkan kesan perhatian MK yang tinggi atas perkara ini. Hal itu, antara lain, terlihat dengan empat ahli yang dimintai MK keterangan di dalam sidang. Cukup banyaknya ahli yang didatangkan oleh MK guna memberikan keterangan itu menunjukkan kompleksitas perkara sekaligus keinginan MK mendengarkan para pakar dan ahli yang kompeten di bidang politik, hukum, dan pemilu.
Empat ahli yang dimintai keterangan oleh MK ialah pengajar ilmu politik di Universitas Paramadina Djayadi Hanan, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso. Adapun pemohon mengajukan dua ahli, yakni pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, dan pendiri Perludem Didik Supriyanto.
Pemisahan keserentakan
Para ahli dalam keterangannya cenderung mendukung ide pemisahan pemilu serentak nasional (presiden, DPR, dan DPD), dan pemilu serentak lokal (pilkada dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota). Hal itu, menurut Fadli, sejalan dengan argumentasi yang dikemukakan pemohon yang melihat keserentakan pemilu nasional sesuai dengan tujuan perkuatan sistem presidensial. Ini karena ada keterkaitan antara presiden sebagai pemegang tampuk pemerintahan dan legislatif sebagai lembaga pengawas sehingga terjadi proses check and balances.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Operator memeriksa hasil cetakan surat suara Pemilu 2019 di percetakan PT Gramedia, Jakarta, Minggu (20/1/2019). KPU mulai melakukan pencetakan perdana surat suara untuk Pemilu 2019 di enam perusahaan konsorsium percetakan. Total jumlah surat suara yang akan dicetak PT Gramedia adalah 292.019.984 lembar surat suara untuk Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Namun, jika pemilihan pilpres dan pileg nasional itu dicampurkan dengan pileg lokal (DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota), tidak ditemui relevansinya dalam penguatan sistem presidensial lantaran DPRD tidak secara langsung memiliki kaitan tugas dengan presiden di dalam wilayah pemerintahan pusat. DPRD justru memiliki kaitan tugas dengan kepala daerah di dalam wilayah pemerintahan daerah.
Selain itu, para ahli juga melihat tenggelamnya isu-isu daerah yang diusung oleh caleg DPRD jika pemilu lima kotak diserentakkan. Isu nasional lebih mendapatkan perhatian dari media, publik, dan pemilih karena dinilai lebih menarik. Di satu sisi, isu-isu daerah yang terkait langsung dengan kehidupan warga pemilih di lapangan tidak terdengar gaungnya, tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilihan presiden.
Mengenai pemilu lokal, Ramlan Surbakti merujuk pada Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945, yang berbunyi ”Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Menurut dia, ada dua jenis pemerintahan yang secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Adanya dua kategori urusan pemerintahan itu pun seharusnya mengakibatkan ada dua jenis pemilihan, yakni pemilihan nasional untuk memilih presiden, DPR, dan DPD, serta pemilihan lokal untuk memilih kepala daerah dan DPRD.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga
Percepatan putusan
Fadli mengatakan, pemohon berharap MK dapat memberikan putusan dalam waktu dekat. Sebab, revisi UU Pemilu termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
”Menimbang akan ada pembahasan mengenai revisi UU Pemilu, kami berharap MK segera memberikan putusan sehingga putusan MK itu bisa menjadi panduan bagi pembuat UU dalam merevisi regulasi,” katanya.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono mengatakan, MK dalam memberikan putusan akan mempertimbangkan semua aspek, termasuk keterangan ahli yang dihadirkan di dalam persidangan. Namun, mengenai kapan putusan perkara itu akan dikeluarkan, hal itu sepenuhnya bergantung pada pertimbangan MK.
KOMPAS/RINI KUSTIASIH
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Soeroso.
”Para ahli dipanggil MK untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan, yang belum diperoleh dari pendapat ahli yang dihadirkan para pihak, tetapi itu belum tentu memastikan pemberian putusan akan dipercepat,” kata Fajar.
Dipanggilnya banyak ahli itu menunjukkan keseriusan MK dalam memeriksa perkara keserentakan pemilu dan konstitusionalitas desain pemilu. Namun, menurut Fajar, apa pun putusan perkara itu akan kembali kepada pertimbangan majelis hakim.
Putusan MK sebelumnya, yakni putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 telah memutuskan konstitusionalitas keserentakan pemilu, yakni pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) yang digelar secara bersamaan. Putusan itu direalisasikan dengan menggelar pileg dan pilpres serentak tahun 2019.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, MK menunjukkan perhatian besar terhadap konstitusionalitas keserentakan pemilu. Perkaranya dinilai cukup rumit karena MK pada putusan terdahulu telah memutuskan pemilu serentak lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Permohonan untuk memisahkan pemilu menjadi pemilu nasional dan lokal sedikit banyak berarti ”menggeser” pendapat MK sebelumnya mengenai keserentakan pemilu.
KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi.
”MK terlihat sangat berhati-hati dalam memeriksa perkara ini, tentu karena sebelumnya juga ada putusan soal pemilu serentak. Namun, putusan perkara ini sangat ditunggu-tunggu oleh pembuat kebijakan dan karena apa pun putusan MK ini bisa menjadi panduan bagi semua pihak dalam mendesain pemilu serentak di masa depan,” ujarnya.