Mahfud mengklarifikasi bahwa pernyataan pejabat pemerintahan yang bertolak belakang itu disebabkan mereka berangkat dari posisinya masing-masing. Itu pun, kata Mahfud, terjadi sebelum rapat di Kemenkopolhukam.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi China di Indonesia tidak akan mengubah sikap pemerintah terkait persoalan Laut Natuna Utara. Pemerintah menyatakan urusan investasi adalah persoalan lain yang tidak berkaitan dengan upaya menjaga hak berdaulat Indonesia.
Hal tersebut ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam wawancara dengan Kompas di Jakarta, Selasa (14/1/2020) malam. Mahfud menyatakan, investasi Pemerintah China di Indonesia tak akan mengubah sikap Indonesia soal Laut Natuna Utara.
Ia membantah analisis yang mengatakan bahwa investasi China menyebabkan Pemerintah Indonesia bersikap permisif dengan masuknya kapal-kapal nelayan China di perairan Natuna Utara. Mengacu data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada semester I-2019, China menempati posisi ke-3 negara dengan jumlah investasi terbesar di Indonesia, yaitu 2,3 miliar dollar AS.
Di atas China masih ada Singapura dengan nilai investasi 3,4 miliar dollar AS dan Jepang 2,4 miliar dollar AS. Adapun total jumlah penanaman modal asing (PMA) di Indonesia pada semester I-2019 sebesar Rp 212,8 triliun.
”Tidak ada kaitannya dengan itu (investasi). Bidang Polhukam itu memutuskan sendiri, bidang investasi jalan sendiri. Oleh sebab itu, dulu saya katakan urusan Laut Natuna Utara dengan China ini harga mati,” kata Mahfud di Jakarta.
Menurut Mahfud, kerja sama investasi tidak berkaitan dengan urusan menjaga hak berdaulat Indonesia di perairan Natuna Utara. Kerja sama dengan China tidak hanya soal urusan investasi, tetapi juga terkait perdagangan dan kebudayaan.
”Sekarang prinsipnya jika ada kapal nelayan China yang masuk, kita usir, bukan perang,” ujarnya.
Mahfud menerangkan, intervensi kapal nelayan China di perairan Natuna sering terjadi. Namun, kali ini mendapat perhatian besar dari publik karena China menunjukkan gelagat menantang. Kapal-kapal nelayan China dijaga kapal penjaga pantai China dan sengaja menghidupkan radar agar terdeteksi aparat Indonesia. Apa yang dilakukan China mau tidak mau mendorong Pemerintah Indonesia untuk bersikap.
Tidak satu suara
Mahfud menampik anggapan yang menuding pejabat pemerintah tidak satu suara dalam menyikapi manuver China di Natuna. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta publik tidak membesar-besarkan persoalan Natuna. Pernyataan Luhut itu oleh masyarakat dinilai bertolak belakang dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang secara tegas tidak akan mengakui klaim China atas Natuna.
Terhadap situasi itu, Mahfud mengklarifikasi bahwa pernyataan pejabat pemerintahan yang bertolak belakang itu disebabkan mereka berangkat dari posisinya masing-masing. Itu pun, kata Mahfud, terjadi sebelum rapat di Kemenkopolhukam.
Mahfud memanggil menteri-menteri yang berbeda pandangan dalam rapat itu. Pada saat rapat, Mahfud meminta semua menteri menyatukan sikap. Dari rapat itu diperoleh kesimpulan, Indonesia tidak akan pernah bernegosiasi dengan China dalam urusan Laut Natuna Utara.
”Sebab, jika kita bernegosiasi, kita mengakui China memang punya hak berselisih dengan kita. Padahal, kita tidak ada berselisih, secara hukum jelas,” kata Mahfud.
Ditemui secara terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Kharis Almasyhari menilai penting bagi pemerintah untuk meningkatkan patroli di perairan Natuna. Kharis menilai sikap pemerintah untuk tidak mau bernegosiasi dengan China sudah cukup tegas.
Ketegasan itu karena Pemerintah Indonesia berpegang pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
”Saya kira itu sudah menjadi dasar yang kuat bagi Indonesia. Jadi, kalau ada nelayan China yang nakal harus diusir,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad memandang perlu penguatan TNI Angkatan Laut dari segi persenjataan di kapal. Di samping itu, upaya-upaya diplomasi wajib ditempuh untuk menggalang dukungan dari negara-negara lain.