Marwah KPU Dipertaruhkan, DKPP Harus Berhentikan Wahyu Setiawan
Banyak komisioner KPU daerah dijatuhi sanksi oleh DKPP, bahkan diberhentikan, karena melanggar kode etik setelah bertemu pihak-pihak yang bisa mengusik independensi KPU. Ini bisa jadi acuan dalam menindak Wahyu Setiawan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA/KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP didesak agar segera menggelar sidang untuk memberhentikan Wahyu Setiawan dari jabatannya sebagai komisioner Komisi Pemilihan Umum. Hal ini karena marwah dan kehormatan penyelenggara pemilu tersebut dipertaruhkan. Apalagi pemilihan kepala daerah serentak 2020 sudah di depan mata.
Wahyu Setiawan ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (8/1/2020), dan dijadikan tersangka karena diduga menerima suap dalam proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari PDI-P, Kamis, 9 Januari.
”Kalau menurut saya, secepatnya disidang. Tidak perlu menunggu ketentuan dan ketetapan dari pengadilan, terlalu lama. Apalagi yang bersangkutan dinyatakan tersangka dalam bentuk OTT,” ujar pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti.
Hal ini penting sebab penangkapan Wahyu karena kasus korupsi telah menggerus kepercayaan publik pada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, KPU akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah tahun ini.
Pendapat serupa dilontarkan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari. Menurut dia, yang disidang oleh DKPP semata persoalan etika. Berangkat dari itu, tindak-tanduk Wahyu yang tidak etis seharusnya sudah bisa ditindaklanjuti, bahkan diberi sanksi tegas oleh DKPP.
Feri mencontohkan, banyak kasus di mana komisioner KPU daerah melanggar kode etik karena bertemu dengan pihak-pihak yang bisa mengganggu independensi KPU. Beberapa di antaranya kemudian diberi peringatan keras, bahkan pemberhentian tetap, karena terbukti melanggar etik.
”Itu bisa jadi acuan terhadap kasus Wahyu Setiawan,” ucapnya.
Tanpa pengaduan
Feri menuturkan, tanpa ada pengaduan ke DKPP pun, DKPP seharusnya bisa proaktif bertindak, menggelar sidang untuk menjatuhkan sanksi kepada Wahyu, demi menyelamatkan marwah dan kehormatan KPU. Ketegasan ini penting karena tugas DKPP menjaga dan melindungi marwah penyelenggara pemilu.
Apabila tidak segera ditindak, dampaknya buruk kepada KPU. Apa pun kebijakan KPU bisa dikaitkan dengan peristiwa yang menimpa Wahyu. ”DKPP bisa tidak menunggu putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Mereka bisa segera merespons hal-hal yang dianggap melanggar etik,” ucap Feri.
Sementara itu, Ketua DKPP periode 2012-2017 Jimly Asshiddiqie menyarankan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera mengajukan laporan resmi ke DKPP untuk segera menyidangkan kasus Wahyu Setiawan.
Hal ini karena pemberhentian oleh DKPP hanya bisa dilakukan melalui peradilan etik, dan peradilan etik hanya bisa digelar jika ada pengaduan. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, peradilan etik bisa digelar jika ada pengaduan tertulis dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat, pemilih, dan rekomendasi dari DPR.
”Setiap pelanggaran hukum pasti melanggar etika juga karena OTT tidak lagi perlu pembuktian. Jadi bisa cepat diambil tindakan agar publik segera memisahkan urusan perilaku etis orang per orang tidak dikaitkan dengan institusi, yang bisa merusak marwah dan kehormatan KPU,” ujarnya.
Anggota DKPP, Teguh Prasetyo, membenarkan, harus ada laporan tertulis dari penyelenggara atau peserta pemilu, masyarakat, atau rekomendasi DPR untuk menggelar sidang etik guna memberhentikan komisioner KPU. Laporan tersebut kemungkinan akan muncul setelah status Wahyu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
”Jika memang sudah ada (laporan atas Wahyu), DKPP akan memprioritaskan laporan tersebut dan menyidangkannya karena marwah KPU harus dijaga,” ucapnya.