Kedaulatan dan hak berdaulat memiliki perbedaan. Di Zona Ekonomi Eksklusif Laut Natuna Utara yang dimasuki oleh kapal-kapal China, mana di antara dua konsep itu yang paling sesuai?
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
Salah satu tonggak penting eksistensi Indonesia adalah disepakatinya United Nation Convention on the Law of the Sea pada tahun 1982. UNCLOS memperkenalkan definisi negara kepulauan di mana ada kedaulatan pada laut antarpulau yang membentuk negara itu sebagaimana pada pulau-pulaunya.
Hal ini tidak terpisahkan dari peristiwa di 13 Desember 1957, saat Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja mendeklarasikan bahwa laut Indonesia adalah wilayah kedaulatan RI. Maka, luas wilayah Indonesia bertambah menjadi sekitar 2,5 lipat.
Sayangnya, kerap bangsa Indonesia tidak menyadari kekayaan yang dimiliki. UNCLOS bukan hal yang diketahui banyak orang. Salah satu hal yang sedang menjadi titik perhatian saat ini adalah soal kehadiran kapal-kapal nelayan China, kapal-kapal pengawas pantai China, dan kapal pengawas perikanan China, sekitar 130 mil timur laut Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
Banyak orang berteriak bahwa kedaulatan RI diganggu China. Padahal, tidak ada kedaulatan yang terganggu di tempat kapal-kapal China itu mondar-mandir. Yang terjadi ialah pelanggaran hukum berupa pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan dan pelanggaran wilayah yang dilakukan kapal-kapal Pemerintah China di zona ekonomi eksklusif (ZEE) di mana Indonesia memiliki hak berdaulat.
Lantas apa beda kedaulatan dan hak berdaulat? Bayangkan titik-titik yang ditarik dari bagian terluar Indonesia, termasuk Pulau Natuna. Dari titik-titik itu ditarik garis yang disebut garis pangkal. Kalau dari garis pangkal ditarik 12 mil ke luar dan dibentuk garis baru, garis itu disebut garis teritorial. Dari garis teritorial hingga ke dalam, termasuk daratan Indonesia, ada kedaulatan (sovereignty).
Apabila dari garis pangkal ditarik garis ke luar sejauh 200 mil, daerah itu disebut ZEE, di mana sumber daya alam yang ada di ZEE ditujukan secara eksklusif untuk diolah negara pantai pemilik ZEE tersebut. Makna diolah, bisa saja negara pantai bekerja sama dengan pihak lain, termasuk negara lain atau swasta. Ini disebut hak berdaulat (sovereign rights).
”ZEE ini bukan punya Indonesia, tetapi sumber daya yang ada di situ kita olah secara eksklusif,” kata I Made Andi Arsana, pengajar Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (6/1/2020).
ZEE ini masih butuh perundingan lebih lanjut dengan Vietnam dan Malaysia. ”Klaim ini sama-sama didasarkan UNCLOS, makanya ada legitimasinya,” kata Andi.
Masalah dengan China
Masalah dengan China diawali dengan klaim China atas pulau-pulau di Spratly di Laut China Selatan. Klaim serupa diajukan Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam.
Tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional memutuskan menolak klaim China di Laut China Selatan yang ditandai dengan Sembilan Garis Putus. Keputusan itu didasari pertimbangan bahwa klaim China tak punya dasar hukum. Klaim atas dasar hak historis China gugur karena tidak sesuai dengan ZEE seperti ditetapkan PBB.
China tetap mengklaim Sembilan Garis Putus dari tengah Laut Cina Selatan dan masuk ke ZEE Laut Natuna Utara. Klaim ini didasarkan pada klaim sejarah bahwa wilayah tersebut adalah daerah tradisional nelayan China.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, mengatakan, selain tidak jelas koordinatnya, klaim itu juga terkadang disebut sembilan/sepuluh/sebelas garis putus. China tidak mengakui klaim Indonesia atas ZEE Natuna Utara atas dasar kedaulatan Pulau Nansha yang berada di Sembilan Garis Putus dan pulau itu punya perairan sejenis ZEE. ZEE itu yang disebut China wilayah pencarian ikan tradisional.
Saling klaim itu yang berujung pada maraknya kapal China di Laut Natuna Utara. Oleh karena itu, situasinya bukan situasi perang. Untuk mengatasinya diperlukan perpanjangan tangan negara RI untuk penegakan hukum, terutama oleh kapal-kapal Badan Keamanan Laut serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penyelesaian yang lebih strategis ialah kehadiran kapal-kapal nelayan Indonesia.