Antara Otonomi, Desentralisasi Asimetrik, dan Pemekaran
Keragaman Indonesia dari aspek budaya, sejarah, dan geografis merupakan keniscayaan bagi penyelenggaraan model pemerintahan yang berbeda-beda dan relevan dengan keberagaman itu, yakni lewat desentralisasi asimetris.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR dengan sejumlah pihak terkait pemekaran daerah otonomi baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Dalam audiensi tersebut Komisi II menerima aspirasi terkait pemekaran daerah otonomi baru yaitu Kabupaten Bogoga dan Provinsi Papua Tengah serta tentang partai lokal Papua.KOMPAS/RADITYA HELABUMI12-11-2019
Keragaman Indonesia dari aspek budaya, sejarah, dan geografis merupakan keniscayaan bagi penyelenggaraan model pemerintahan yang berbeda-beda dan relevan dengan keberagaman itu. Di sisi lain, pemekaran wilayah daerah sebagai salah satu konsekuensi menampung perbedaan tersebut dinilai tidak relevan lagi terus dilakukan mengingat sejumlah catatan minus yang menyertai.
Model pemerintahan yang berbeda-beda dapat disebut dengan desentralisasi asimetrik. Desentralisasi asimetrik dapat disebut pula dengan otonomi khusus. Sistem ini merupakan pengelolaan kewenangan pemerintahan berbeda dengan otonomi daerah yang merupakan desentralisasi simetrik.
Secara mendasar, desentralisasi asimetrik memiliki landasan dari Pasal 18B Ayat 1 UUD 1945. Pasal itu secara lengkap berbunyi, ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Pendiri Institut Otonomi Daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menyebutkan bahwa desentralisasi asimetrik terkait keberadaan wilayah khusus, otonomi khusus, dan pemerintah daerah khusus dengan perlakuan khusus. Djohermansyah yang merupakan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan hal tersebut dalam diskusi bertajuk ”Refleksi Otda dan Otsus 2019”, pertengahan Desember 2019, di Jakarta.
KOMPAS/NINA SUSILO
Djohermansyah Djohan
Sementara otonomi daerah, urai Djohermansyah, lebih pada tugas pembantuan, delegasi, privatisasi, dan dekonsentrasi. Ini merupakan antitesis dari konsep pemerintahan yang sentralistik, di mana tidak ada otonomi. Pada pemerintahan sentralistik, daerah lebih berperan sebagai pihak yang pasif sebagai ”penonton” menyusul dikendalikannya urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat.
Menurut Djohermansyah, desentralisasi asimetrik merupakan pelimpahan kewenangan secara luas dan besar di bidang politik, sosial, budaya, fiskal, dan administrasi. Hal ini diberikan kepada pemerintah daerah di wilayah tertentu. Tujuannya dapat sebagai alat untuk pembangunan regional dalam kaitannya dengan kesejahteraan rakyat dan peningkatan perekonomian. Kemudian, ditujukan merangkul daerah yang tengah dilanda konflik.
Jika dibedakan berdasarkan model desentralisasi asimetrik, sekurangnya terdapat lima jenis yang dipraktikkan. Masing-masing adalah desentralisasi asimetrik berdasarkan konflik atau persoalan politik, kebudayaan, ekonomi, karakter wilayah, dan ibu kota negara.
Praktik desentralisasi asimetrik sudah berlangsung di Indonesia. Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Papua, dan Aceh merupakan contoh. DKI Jakarta menerapkan model desentralisasi asimetrik karena latar belakang ibu kota negara, DI Yogyakarta menyusul alasan kebudayaan, Papua dan Aceh disebabkan konflik atau persoalan politik.
Jakarta, imbuh Djohermansyah, juga potensial sebagai wilayah otonomi khusus dengan latar belakang ekonomi bersama-sama dengan Bali dan Kepulauan Riau. Adapun berdasarkan karakter wilayah dengan konteks perbatasan dan kepulauan, Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau juga potensial jadi daerah otonomi khusus.
Dampak desentralisasi
Sutiyo dan Keshav Lall Maharjan (2017) dalam buku Decentralization and Rural Development in Indonesia menyebutkan, sejumlah dampak signifikan desentralisasi bisa diidentifikasi terkait dengan fasilitas air bersih, listrik, pembangunan jalan, dan infrastruktur pendidikan. Pada sektor kesehatan, terdapat kenaikan signifikan dalam hal cakupan asuransi kesehatan.
Akan tetapi, produk domestik regional bruto sektor pertanian turun dan angka partisipasi sekolah tidak naik signifikan. Masyarakat miskin di perdesaan disebutkan mengalami lebih banyak peningkatan akses pada jaringan listrik, air bersih, dan kepemilikan aset, tetapi kurang dalam hal menghasilkan pendapatan.
Sejumlah tantangan, disebutkan Sutiyo dan Maharjan, terkait dengan fakta-fakta tersebut. Tantangan ini terutama terkait dengan rendahnya komitmen politik dari pemerintah kabupaten untuk memprioritaskan pembangunan perdesaan dalam menggunakan anggaran lokal, rendahnya efisiensi lembaga-lembaga dalam kabupaten, dan rendahnya kapasitas anggota Dewan di tingkat kabupaten dalam menganalisis anggaran.
Kemudian, terjadi inkonsistensi pelaksanaan aturan lokal dalam mendefinisikan desentralisasi dan pembentukan mekanisme partisipatif. Ini ditambah dengan tradisi formalisasi dalam pemerintahan desa serta rendahnya motivasi, insentif, dan koordinasi dari para aparat pemerintah desa untuk menjalankan tugas mereka.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Para Gubernur, Walikota, dan Bupati menandatangani berkas pengusulan Daerah Otonomi Baru (DOB) saat acara Konsolidasi Nasional Pembentukan Daerah Otonomi Baru di Gedung Nusantara V, Gedung MPR DPR, Jakarta, Selasa (4/10/2016). Kompas/Lasti Kurnia (LKS)04-10-2016
Saat ini, terdapat 542 daerah otonom di Indonesia, yakni terdiri dari 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pemekaran daerah mulai terjadi setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut kini sudah berganti menjadi UU No 9/2015 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum itu, pemerintahan daerah merujuk pada UU No 32/2004, lalu UU No 23/2014.
Peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Siti Zuhro, pada diskusi yang sama membawakan makalah dengan judul ”Moratorium Pemekaran Daerah dan Relevansinya”. Zuhro mengindikasikan bahwa kecenderungan kegagalan daerah otonom baru (DOB) lebih mendominasi dibandingkan dengan keberhasilannya.
Evaluasi hingga 2010 terhadap 145 daerah otonom yang dilakukan Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menemukan 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan penyerahan pembiayaan, personel, peralatan, dan dokumen kepada daerah otonom baru. Sebesar 79 persen DOB belum memiliki batas wilayah. Sebesar 89,48 persen daerah induk belum memberi dukungan dana kepada DOB sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang.
KOMPAS/AYU PRATIWI
Siti Zuhro
Pemekaran daerah disebut tidak memberikan dampak yang positif terhadap tata kelola pemerintahan. Daerah induk menghadapi persoalan karena anggaran yang relatif sedikit masih harus dibagi. Di sisi lain, anggaran pendapatan dan belanja negara juga terbebani. Hal ini membuat moratorium atau penghentian sementara pemekaran daerah menjadi relevan.
Moratorium pemekaran daerah dilakukan pada 2014. Zuhro menambahkan, sejak pemekaran daerah dihentikan, terdapat 315 daerah yang tengah menunggu dimekarkan. Akan tetapi, moratorium pemekaran dinilai perlu diperpanjang karena ketiadaan korelasi positif. Bahkan, terdapat kecenderungan bahwa semakin mekar suatu daerah, semakin tertinggal daerah tersebut.
Maka, dalam hal ini, menghentikan moratorium pemekaran daerah dapat diibaratkan dengan membuka kotak pandora. Semoga hal ini bijak dipertimbangkan pemerintah.