Semestinya, kepala daerah dan wakil kepala daerah saling membantu, saling melengkapi, dan saling mengisi serta menaati sumpah janji untuk menyelesaikan tugas sampai masa jabatan yang ditetapkan.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 80 persen pasangan kepala daerah yang saat ini menjabat diperkirakan akan kembali mencalonkan diri pada Pilkada 2020 dengan mengusung kubu yang berbeda. Efektivitas pemerintahan daerah cenderung terganggu seiring dengan hal tersebut sehingga dibutuhkan tindakan khusus.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Alwan Ola Riantoby, Jumat (27/12/2019), mengatakan, berdasarkan riset awal yang dilakukan mulai Oktober hingga Desember 2019, hanya sekitar 20 persen kepala daerah yang akan kembali mencalonkan diri dengan wakilnya saat ini. Selebihnya, pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah itu akan sama-sama bertarung untuk memperebutkan kursi kepala daerah.
Alwan mencontohkan, di Sumatera Utara, hingga saat ini diketahui hanya ada lima daerah dengan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya akan kembali mencalonkan diri dalam kubu yang sama. Adapun di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara, masing-masing hanya ada dua daerah yang kemungkinan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya tetap mencalonkan diri sebagai pasangan yang sama. ”Sisanya pecah kongsi semua,” ujarnya.
Hal itu relatif berimbas pada pembangunan di daerah. Berbagai program pembangunan di daerah yang sudah dicanangkan dalam visi misi pasangan bersangkutan dikhawatirkan tidak berjalan dengan efektif.
Hal itu, lanjutnya, masih ditambah lagi dengan kemungkinan penyalahgunaan wewenang terkait dengan kekuasaan pada rantai birokrasi di daerah tersebut. Pada gilirannya, hal itu berpotensi menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.
Kecenderungan ini diperkirakan mulai terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Pasalnya, diperlukan persiapan terkait penggalangan dukungan, pencalonan, dan sebagainya sebelum bakal pasangan calon tersebut bertarung dalam pilkada serentak 2020 pada 23 September. ”Pecah kongsi ini pasti akan terjadi,” ucap Alwan.
Ia menambahkan, selain itu, terdapat pula kecenderungan sebagian kepala daerah yang sudah berkuasa selama dua kali masa jabatan pada Pilkada 2020 terindikasi akan mencalonkan anggota keluarga mereka. Pencalonan anggota keluarga ini bisa saja melibatkan istri atau anak yang bersangkutan.
Risiko politik
Direktur Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kementerian Dalam Negeri Budi Santosa mengatakan, fenomena pecah kongsi kepala daerah merupakan risiko politik yang terjadi menyusul implementasi sistem pilkada yang dipergunakan sekarang. Ia menyebutkan, pihaknya sebelumnya pernah mengusulkan agar wakil kepala daerah tidak perlu ikut dipilih. ”(Tapi) partai tidak setuju,” kata Budi.
Ia menuturkan, jika saat ini terjadi kecenderungan pecah kongsi yang berimbas pada efektivitas pemerintahan di daerah, pihaknya akan melihat situasi yang ada sebelum memutuskan apakah diperlukan tindakan atau imbauan khusus terkait hal tersebut. Ia mempertanyakan, apakah memang benar pemerintah daerah perlu dituntut kesadaran pertanggungjawabannya hingga sedemikian rupa untuk sesuatu hal yang sebetulnya telah dipahami.
Akan tetapi, lanjut Budi, jika memang hal tersebut telah menjadi kebutuhan, pihaknya akan melaporkan hal itu kepada jenjang kepemimpinan lebih tinggi di Kementerian Dalam Negeri. Kalaupun memang kelak akan ada imbauan tersebut, ujarnya, sifatnya sekadar mengingatkan, tetapi tidak menggurui.
”Bahwa konstelasi politik jangan (sampai) mengabaikan tugas-tugas sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah,” ucap Budi.
Lebih jauh ia menambahkan, tugas setiap kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah diatur secara rinci dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Semestinya, kepala daerah dan wakil kepala daerah saling membantu, saling melengkapi, dan saling mengisi serta menaati sumpah janji untuk menyelesaikan tugas sampai masa jabatan yang ditetapkan.