Memulai Langkah Mengurangi Kompleksitas Pemilu
Indonesia meninggalkan 2019 dengan suksesi kekuasaan nasional. Pemilu serentak 2019 berhasil menjadi pintu gerbang suksesi itu dengan beberapa catatan. Sudah saatnya kerumitan penyelenggaraan pemilu dikurangi
Indonesia meninggalkan 2019 dengan suksesi kekuasaan nasional. Pemilu Serentak 2019 sudah berhasil menjadi pintu gerbang dengan sejumlah catatan. Beberapa hambatan muncul melengkapi sejumlah apresiasi atas penyelenggaraan pemilu. Penggunaan teknologi pemilihan diusulkan untuk mengatasi persoalan serupa kembali muncul di masa depan.
Meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu, keterbelahan masyarakat menyusul praktik politik identitas selama masa kampanye yang panjang, hingga praktik politik uang adalah sebagian di antara sejumlah persoalan yang muncul. Ini belum ditambah dengan teralihnya fokus perhatian publik, sehingga cenderung hanya pada pemilihan presiden-wakil presiden dan menafikkan proses pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mencatat sejumlah persoalan bermula dari sebagian regulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak diatur dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Misalnya, saja pelarangan caleg mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam Peraturan KPU (PKPU), yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Selain itu ada pula aturan penggunaan Silon (Sistem Informasi Pencalonan) dan Sipol (Sistem Informasi Partai Politik). Teknologi tersebut wajib dipergunakan alih-alih sebagai alat bantu untuk melengkapi tahapan pemilu. Hal ini juga tidak ditemukan pengaturannya dalam UU.
Setelah persoalan regulasi yang cenderung memicu konflik, persoalan berikutnya adalah penyusunan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Kementerian Dalam Negeri mencatat, ada kecenderungan tidak dioptimalkannya DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) dan lebih cenderung pada proses pencocokan dan penelitian (coklit).
Selain itu, praktik politik uang cenderung marak. Sebagian masyarakat menentukan pilihannya atas kandidat tertentu di menit-menit terakhir. Penentuan itu tergantung pada penawaran tertinggi yang diberikan. Kampanye berbulan-bulan cenderung bisa tidak banyak berguna untuk meyakinkan pilihan calon pemilih.
Pada sisi lain, biaya politik yang harus dikeluarkan para calon juga tinggi. Biaya memroduksi alat peraga kampanye, memobilisasi peserta kampanye, mengadakan acara kampanye, dan sebagainya. Hal ini memang harus dilakukan mengingat adanya citra diri yang mesti disampaikan kepada masyarakat. Definisi kampanye dalam UU Nomor 7/2017 menyatakan kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan citra diri peserta pemilu. Selain menawarkan visi, misi, dan program.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot (2019) yang menulis buku berjudul Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia menyoroti tentang praktik politik uang itu. Aspinall dan Berenschot menulis bahwa ciri yang menonjol dari demokrasi di Indonesia adalah bahwa para pemenangnya (kaum elit yang beroleh kekuatan, gengsi, dan kekayaan dari keterlibatan mereka dalam politik) memiliki keraguan cukup besar tentang bagaimana hal tersebut, atau dalam hal ini demokrasi, akan dilakukan.
Dalam buku yang sebagian didasarkan dari praktik Pileg 2014 itu, Aspinall dan Berenschot menulis bahwa politisi Indonesia merasa terjebak dalam pola pertukaran klientelistik. Mereka mendapatkan tekanan dari konstituen untuk memberikan uang tunai dan tunjangan lain. Selain itu ada ketakutan bila hal itu diabaikan, maka yang bersangkutan bakal kalah dari pesaingnya. Dibutuhkan keberanian moral tertentu atau basis politik yang luar biasa kuat untuk mencalonkan diri tanpa mendistribusikan patronase. Namun demikian, banyak kandidat yang memilih jalan tersebut, pada akhirnya kalah.
Mobilisasi logistik menjadi catatan selanjutnya. Pengiriman logistik pemilu untuk sebagian daerah yang terkendala dan oleh karenanya memperlambat pelaksanaan dinilai cukup mengganggu. Hal ini membuat sebagian tahapan cenderung tidak terselesaikan dengan baik. Pada akhirnya, sebagian tahapan itu menumpuk di tingkatan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara). Pengambilan logistik di tingkat kecamatan dengan antrean di sebagian lokasi membuat keletihan menjadi. Belum lagi kewajiban yang langsung menunggu para petugas KPPS untuk menyiapkan TPS dan bersiaga sejak pagi-pagi sekali di hari pemungutan suara.
Beban relatif besar kepada KPPS ini masih berlanjut di tahapan penghitungan. Lima surat suara - presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota - mesti dihitung serta formulir-formulir yang harus diisi dalam waktu terbatas. Ini sekalipun Mahkamah Konstitusi memutuskan menambah waktu penghitungan hingga 12 jam dari tenggat awal. Sebelumnya, UU 7/2017 tentang Pemilu mengatur penghitungan suara dilakukan di hari yang sama dengan pemungutan suara.
Tata Kelola
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay prihatin dan bersedih atas meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu. Selain beban kerja yang luar biasa, sebagian penyelenggara tersebut diketahui telah memiliki penyakit bawaan.
Kondisi kesehatan sebelumnya relatif tidak terkontrol. Kalaupun ada pemeriksaan di tingkat Puskesmas, ketiadaan biaya membuat hal itu tidak bisa dilakukan detail. Usulan untuk memberikan asuransi juga tidak siap dikabulkan pemerintah.
Pada kondisi tersebut, para petugas penyelenggara bertemu dengan beban kerja yang besar. Ini bukan semata-mata dikarenakan penambahan satu surat suara dari pelaksanaan pilpres yang diselenggarakan bersamaan dengan pileg. Akan tetapi lebih pada isu tata kelola yang mestinya bisa lebih diperbaiki.
Penyusunan DPT yang tidak kunjung tuntas sejak jauh hari menjadi salah satu di antaranya. Selain itu, banyaknya formulir yang mesti diisi saat penghitungan suara menjadi tantangan berikutnya. Aturan-aturan teknis seperti dibolehkannya penyalinan dengan mesin fotokopi dengan dilengkapi tanda tangan asli untuk lebih memudahkan, banyak tidak diketahui petugas.
Prosedur-prosedur rumit ini semestinya bisa diringkas. Penulisan hingga puluhan salinan formulir mestinya bisa dipangkas. Kerumitan prosedur itu dinilai lebih berkontribusi ketimbang model keserentakan pemilu.
Belakangan mulai ada wacana untuk mengubah bentuk keserentakan dengan dibagi menjadi pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Atau, model keserentakan menjadi model pemilu lokal dan nasional. Usulan-usulan ini mengemuka menyusul penilaian tidak mungkin diulanginya lagi model keserentakan dalam satu hari sebagaimana Pemilu 2019.
Ketua KPU Arief Budiman menyebutkan bahwa UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu sebagai hasil penggabungan UU Pemilu, UU Pilpres, dan UU Pileg baru ditandatangani 16 Agustus 2017. Waktu relatif mepet itu dirasa berat bagi penyelenggara menyusul adanya perintah-perintah baru dalam UU tersebut yang dibebankan kepada KPU.
Misalnya saja rekrutmen anggota KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu masih harus ditindaklanjutinya UU tersebut dengan menerbitkan sejumlah PKPU yang mesti dikonsultasikan dengan pemerintah dan DPR. Pengaturan jadwal konsultasi yang mesti menyesuaikan dengan ketersediaan waktu pemerintah dan DPR cenderung menjadi tantangan tersendiri.
Sebagian perubahan aturan juga terkait dengan adanya proses uji materi di Mahkamah Konstitusi. Misalnya saja yang terkait dengan verifikasi partai politik. Saat dipastikan pada Januari 2018 bahwa seluruhnya harus diverifikasi, maka penyesuaian kembali harus dilakukan pada PKPU terkait.
Pelarangan mantan narapidana korupsi yang sempat dilakukan juga dinilai bukan tanpa dasar. Misalnya saja aturan serupa dalam pilpres dan keberadaan UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Akan tetapi semangat yang diusung segera setelah reformasi itu cenderung masih menemukan tantangan.
Polemik yang berkembang seputar pelarangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam Pileg tak kurang membuat KPU merasa dipojokkan. Padahal jika semua pihak bersepakat maka pengaturannya bisa saja lewat revisi UU. Akan tetapi karena ruang kosong itu masih ada maka KPU melihat ruang mengenai pengaturan tersebut harus diisi.
Baca juga: Bekas Koruptor Harus Tunggu Lima Tahun agar Bisa Ikut Pilkada
Donald L. Horowitz (2013) dalam buku Constitutional Change and Democracy in Indonesia” menyebutkan bahwa sebagian besar pengamat Indonesia di saat Pemilu 2009 atau sebelumnya, percaya bahwa demokrasi Indonesia bakal dikonsolidasikan. Pada saat itu terlihat jelas bahwa tidak ada kelompok yang secara signifikan mengancam tatanan demokratis di Indonesia.
Namun ada harga yang mesti dibayar untuk gradualisme dalam penciptaan demokrasi konstitusional. Horowitz menulis bahwa perubahan setelah 1998 tidak mencabut akar personil ataupun praktik rezim sebelumnya. Maka dengan demikian ada urusan yang belum selesai dengan angkatan bersenjata, korupsi, aturan hukum, serta toleransi beragama dan etnis.
Penggunaan Teknologi
Terkait dengan kewajiban menggunakan Sipol, hal itu memang harus dilakukan untuk memverifikasi data yang jumlahnya jutaan. Ada sekurangnya sepuluh juta nama yang mesti diverifikasi di seluruh provinsi dalam 514 wilayah kabupaten/kota guna memastikan tidak ada nama ganda antar parpol. Ini belum ditambah adanya kewenangan atributif yang diberikan kepada KPU. Termasuk di dalamnya untuk melakukan proses pendaftaran parpol. Hal serupa dilakukan untuk Silon (Sistem Informasi Pencalonan). Gunanya adalah untuk memeriksa data bagi para calon dan memastikan tidak ada identitas ganda.
Adapun Situng (Sistem Informasi Penghitungan) yang pada Pemilu 2019 mengalami keterlambatan, bahkan didahului hasil penghitungan manual, ditargetkan pemakaiannya untuk Pemilu 2024. Jika memungkinkan, bentuknya dalam rekapitulasi elektronik bakal diterapkan pada sebagian daerah yang sudah siap pada Pilkada 2020. Keterlambatan hasil pada Pemilu 2019 disebabkan sebagian daerah tidak mengirimkan data. Pasalnya Situng memang baru berfungsi jika daerah mengirimkan data.
Hingga akhir Desember 2019, keputusan tegas untuk menggunakan rekapitulasi elektronik dalam Pilkada 2020 masih belum diambil. Demikian pula dengan PKPU terkait. Sejauh ini baru dilakukan pembahasan terkait dengan dua model teknologi yang kemungkinan bakal dipergunakan. KPU bersama tim dari Institut Teknologi Bandung tengah menyiapkannya.
Keduanya adalah teknologi OCR atau OMR. Seperti dikutip dari buku “My Big Book of Computers 7” yang ditulis Ratna Sagar (2004) OCR atau optical character reader dipakai guna mendeteksi karakter, huruf, dan angka. Teknologi ini terdiri atas pemindai dan perangkat lunak OCR. Cara kerjanya mendeteksi serta menginterpretasi teks dari gambar yang dipindai untuk disimpan dalam bentuk teks. Bukan dalam bentuk gambar. Teks tersebut bisa dipindahkan ke berbagai perangkat lunak pemroses kata untuk diedit atau diformat.
OMR atau optical mark reader, dikutip dari buku yang sama, digunakan untuk membaca formulir cetakan khusus dengan kotak-kotak tertentu yang ditandai dengan pensil ataupun tinta. Tanda-tanda tersebut diidentifikasi OMR lantas ditranskripsikan menjadi sinyal-sinyal elektrik yang ditransmisikan pada komputer.
Terkait dua kali perubahan DPT, sejumlah faktor ditengarai jadi penyebabnya. Di antaranya adalah luputnya sebagian data dimasukkan oleh KPU daerah, rekomendasi Bawaslu terkait sejumlah temuan baru, dan sebagainya. Sementara meninggalnya ratusan petugas penyelenggara pemilu cenderung disebabkan faktor alamiah. Sebagian menyusul penyakit bawaan yang kemungkinan dipicu beban kerja berat.
Perbedaan kondisi geografis di Indonesia menjadi salah satu penyebab adanya persoalan di bidang logistik. Ini membuat sejumlah daerah yang relatif sulit dijangkau, didahulukan pendistribusiannya. Akan tetapi sejumlah hal seperti faktor cuaca, cenderung tidak bisa dhindari.
Serangan bertubi-tubi berupa narasi yang cenderung mendiskrediitkan di dunia virtual dialami penyelenggara pemilu terjadi dalam skala yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Hal itu cenderung sudah dirasakan sejak Pemilu 2014 sekalipun serangannya tidak semasif pada Pemilu 2019.
Transparansi, profesionalisme, dan integritas menjadi kata-kata kunci untuk menghadapi hal tersebut. Jika tidak, maka sedikit saja kinerja tidak baik itu muncul, akan cenderung menjadi pemicu makin masifnya serangan.
Serangkaian pengalaman selama Pilkada 2018 dan Pemilu serentak 2019 itu membawa KPU pada dua usulan. Pertama, penggunaan rekapitulasi elektronik untuk memangkas waktu 35 hari penghitungan sebelum penetapan menjadi sekitar lima hari saja.
Kedua, salinan berbagai dokumen dan formulir dalam bentuk digital. Sehingga dengan demikian tidak lagi dibutuhkan proses penulisan dalam beratus-ratus lembar dokumen untuk dikirimkan pada saski. Jika ini terjadi, maka desain pemilu ke depan tidak lagi memerlukan data manual.
Tujuannya agar tercapai pemilu yang murah bagi penyelenggara dan peserta pemilu serta bagi seluruh pihak. Potensi korupsi setelah pemilu juga bisa dikurangi lewat model pelaksanaan pemilu tersebut. Belum lagi integritas penyelenggaraan yang diharapkan bertambah.
Tingkat kepercayaan meningkat dan legitimasi hasil pemilu dapat tercapai utuh. Sehingga dengan demikian pemilu sebagai titik awal untuk beroleh pemimpin terbaik guna mewujudkan negara adil, makmur, dan sejahtera bisa terwujud.