Revisi UU Tipikor Akan Maksimalkan Pemulihan Aset Korupsi
Ada empat ide dalam naskah usulan perubahan UU Tipikor, yaitu memasukkan rekomendasi UNCAC, penerapan sita jaminan sebagai instrumen hukum, persoalan delik korupsi kerugian negara, dan pengaturan hak gugat publik.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi bersama akademisi telah mengkaji usulan perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Draf rancangan undang-undang ini diharapkan dapat masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020 agar pemulihan aset hasil korupsi menjadi maksimal.
Lima Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) pada Kamis (19/12/2019). Draf akan diserahkan melalui surat kepada Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, salah satu kritik kuat terhadap UU Tipikor adalah karena belum selaras dengan rekomendasi Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC). Padahal, Indonesia telah meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC.
Rekomendasi dalam UNCAC tersebut, antara lain penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional, penyuapan di sektor swasta, perbuatan memperdagangkan pengaruh, dan memperkaya diri secara tidak sah.
”Maka, kami akan ajukan surat (usulan perubahan UU Tipikor) hari ini, sebelum besok kami akan meninggalkan KPK. Ini sangat penting bagi perjalanan bangsa. Mari, kita kawal agar usulan ini bisa diterima teman-teman di pemerintah dan juga DPR,” ujar Agus.
Rekomendasi dalam UNCAC tersebut, antara lain penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional, penyuapan di sektor swasta, perbuatan memperdagangkan pengaruh, dan memperkaya diri secara tidak sah.
Agus menyampaikan hal itu dalam diskusi terbuka ”Menggagas Perubahan, Hasil Kajian dan Draf Usulan Perubahan UU Tipikor”. Buku kajian akademik beserta draf RUU Tipikor yang disusun sejak November 2018 merupakan kerja sama antara KPK dan para akademisi dari Universitas Parahyangan, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Airlangga.
Secara umum, ada empat ide dalam naskah akademik usulan perubahan UU Tipikor. Selain belum masuknya rekomendasi UNCAC, ada juga penerapan sita jaminan sebagai instrumen hukum, persoalan delik korupsi mengenai kerugian negara, dan pengaturan mengenai hak gugat masyarakat.
Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang menuturkan, perdagangan pengaruh penting untuk diatur karena setiap orang dapat menjadi tersangka atas perbuatan ini, baik pejabat publik, pengusaha, maupun korporasi. Aturan ini juga dapat memberikan proteksi bagi para pengusaha Indonesia di luar negeri agar tidak terkena pengaruh suap-menyuap.
Selanjutnya, yaitu usulan penerapan sita jaminan sebagai instrumen hukum dalam prosedur penyitaan terhadap barang-barang milik pelaku yang bukan hasil tindak pidana. Namun, barang tersebut dapat disita dalam penyidikan sebagai jaminan pembayaran uang pengganti.
”Usulan ini untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara serta pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi,” kata Rasamala.
Usulan ini untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara serta pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi.
Selain itu, hasil kajian juga mengusulkan adanya perbaikan permasalahan delik korupsi kerugian negara yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Delik ini mengatur mengenai kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Dosen Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menjelaskan, beratnya pidana penjara ataupun denda dalam Pasal 2 yang melebihi Pasal 3 dinilai tidak rasional. Dalam Pasal 2 dengan pelaku adalah orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan, pelaku dihukum pidana penjara minimal empat tahun dan denda minimal Rp 200 juta.
Sementara itu, Pasal 3 dengan pelaku pegawai negeri dan penyelenggara negara, dihukum pidana penjara minimal 1 tahun dan denda paling sedikit Rp 50 juta. ”Maka, seharusnya yang pegawai negeri dan penyelenggara negara dijatuhi hukuman lebih berat ketimbang masyarakat,” ujar Agustinus.
Seharusnya yang pegawai negeri dan penyelenggara negara dijatuhi hukuman lebih berat ketimbang masyarakat.
Untuk itu, tim penyusun mengusulkan agar Pasal 2 dan Pasal 3 dilebur sehingga ketentuan berbunyi, ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan dengan tujuan atau setidak-tidaknya diketahuinya dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Ide terakhir, yaitu usulan tentang pengaturan mengenai hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi untuk partisipasi publik yang lebih progresif dalam pemberantasan korupsi. Usulan ini agar ada payung hukum bagi masyarakat yang mengalami kerugian akibat tindak pidana korupsi agar dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku dan mendapatkan pemulihan.
IPK akan meningkat
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai, melalui perubahan UU Tipikor, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pasti meningkat. Sebab, perubahan ini akan memberikan kepastian hukum tidak hanya pada pejabat negara, tetapi pada sektor swasta.
Data Transparency International Indonesia, dalam lima tahun terakhir, IPK Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Dari skor 0-100, IPK Indonesia adalah 34 (2014), 36 (2015), 37 (2016), 37 (2017), dan 38 (2018).
”Kalau UU Tipikor-nya sudah diperbaiki, nilai IPK kita akan dengan sendirinya juga membaik karena semua akan lebih hati-hati. Pengusaha juga akan ikut senang karena tidak ada lagi sogok-menyogok dalam berkompetisi di dunia usaha,” kata Syarif.