Kebebasan Beragama dan Kewargaan
Tindakan oleh aktor non-negara terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan cenderung naik dalam 12 tahun terakhir (2007-2018). Dibutuhkan pengarusutamaan pemerintahan inklusif untuk mengatasinya.
Naiknya jumlah tindakan pelanggaran tersebut oleh aktor non-negara cenderung makin melonjak pada tahun-tahun setelah 2010. Tahun 2011 misalnya, ada 187 tindakan pelanggaran oleh aktor non-negara berbanding 115 tindakan oleh aktor negara.
Di tahun 2012, aktor non-negara melakukan 224 tindakan pelanggaran berbanding 143 tindakan pelanggaran oleh aktor negara. Pada tahun 2013 hingga 2015, secara berturut-turut ada 176, 115, dan 130 tindakan pelanggaran oleh aktor non-negara. Adapun tindakan pelanggaran oleh aktor negara selama periode itu tercatat 117, 62, dan 94 kali.
Tindakan pelanggaran oleh aktor negara yang lebih besar dibandingkan aktor non-negara hanya terjadi pada 2016. Pada tahun itu tercatat ada 140 tindakan pelanggaran oleh aktor negara berbanding 130 tindakan pelanggan oleh aktor non-negara.
Setelah tahun 2016, tindakan pelanggaran oleh aktor non-negara kembali mengalami lonjakan cukup besar. Pada 2017, ada 126 tindakan pelanggaran oleh aktor non-negara dan 75 tindakan oleh aktor negara. Di tahun 2018, jumlah tindakan pelanggaran yang dilakukan aktor non-negara menjadi 130 kali atau lebih banyak dibandingkan 72 tindakan pelanggaran oleh aktor negara.
Direktur Riset SETARA Institute Halili, dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa catatan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pada 2016 yang didominasi aktor negara menyusul keberadaan kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Adapun sisanya merupakan aktor non-negara.
Kelompok Warga
Sementara jika disigi berdasarkan jenis-jenis aktor non-negara yang menjadi aktor tindakan pelanggaran kebebasan beragama, selama 12 tahun terakhir didominasi kelompok warga. Jumlahnya ada 600 kejadian.
Selain itu, individu juga melakukan cukup banyak tindakan pelanggaran selama 12 tahun tersebut, dengan 92 kali tindakan serta menduduki posisi kelima. Lonjakan drastis terjadi pada 2018 dengan 46 tindakan pelanggaran dilakukan individu jika dibandingkan dengan lima tindakan pelanggaran setahun sebelumnya.
Sebagian di antaranya kemungkinan disebabkan sejumlah persekusi yang dilakukan menyusul ketegangan horisontal. Halili menyebutkan bahwa aktor yang melakukan individu dengan korban yang juga individu.
Hal lain ialah keberadaan perusahaan sebagai aktor non-negara yang melakukan 26 tindakan pelanggaran selama 12 tahun. Jumlah ini membuat perusahaan menempati posisi ke-10 sebagai aktor non-negara yang melakukan tindakan pelanggaran.
Ormas keagamaan menjadi aktor non-negara yang berada di posisi kedua terbanyak aktor tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Jumlahnya sebanyak 249 tindakan.
Jumlah tindakan pelanggaran yang dilakukan aktor negara dalam 12 tahun terakhir didominasi kepolisian dengan 480 tindakan. Peringkat kedua ditempati pemerintah daerah dengan 383 tindakan.
Adapun korban terbanyak dalam 12 tahun adalah kelompok Ahmadiyah dengan 554 tindakan pelangaran. Aliran keagamaan menjadi kelompok terbesar kedua yang menjadi korban dengan 334 tindakan pelanggaran.
Terkait dengan gangguan terhadap rumah ibadat dalam 12 tahun, gereja menjadi yang terbanyak mengalami gangguan dengan 199 kejadian. Masjid menempati posisi kedua dengan 133 kali mengalami gangguan. Rumah ibadah kepercayaan mengalami 32 gangguan dan menduduki posisi ketiga.
Ancaman Balik
Kecenderung naiknya tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan oleh aktor non-negara dapat disebabkan sejumlah hal. Salah satunya dapat diduga terkait dengan tindakan koersif alih-alih pendekatan kewarganegaraan dalam menangani radikalisme dan atau potensi radikalisme.
Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani pada kesempatan itu mengapresiasi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menangani radikalisme sebagai buah dari pembiaran selama sepuluh hingga lima belas tahun terakhir. Akan tetapi pada saat bersamaan ada kecemasan karena negara cenderung belum mempunyai formula yang tepat untuk menangani praktik intoleransi.
Ismail juga mengutarakan adanya 421 peraturan hukum berupa perda yang diskriminatif terhadap perempuan dan 71 produk hukum intoleran yang mengakselerasi intoleransi selama sepuluh tahun ini. Selain itu terdapat pula kecenderungan bahwa formula untuk menghadapi praktik intoleransi dan radikalisme serta teror juga menjadi ancaman balik terhadap pluralisme dan kohesi sosial masyarakat.
Pada kesempatan itu Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebutkan bahwa gejolak bangsa disebabkan ketidakmampuan mengelola dan ketidaksiapan menerima kemajemukan. Ini memiliki sejarah panjang sejak masa kemerdekaan dan saat ini sebagian di antaranya berbentuk radikalisme sebagai embrio terorisme.
Bambang mengingatkan sikap intoleran sebagai hal pertama yang mengancam kemajemukan. Kedua, sikap fanatik dengan menganggap diri dan kelompok sendiri yang benar dan pihak lain salah. Sikap mengeksklusifkan diri ini selanjutnya cenderung akan mengadopsi tindakan kekerasan.
Karena itulah, prakarsa untuk mereduksi ancaman tersebut dipandang menemukan urgensinya. Hal ini terutama jika dikaitkan adanya kelemahan dalam mentransformasikan rumusan-rumusan Pancasila sebagai ideologi negara yang abstrak menjadi praktik.
“Kita harus akui ada kealpaan,” sebut Bambang.
Kealpaan itu terkait dengan penghapusan kurikulum pelajaran Pancasila dari sekolah dan jenjang perguruan tinggi. Selain itu, berhubungan pula dengan penghapusan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Selain itu juga penghapusan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).
Menurut Bambang, karena itulah pihaknya mulai kembali berpikir untuk memasukkan lagi pelajaran Pancasila ke dalam setiap jenjang pendidikan. Selain itu, MPR akan berkolaborasi bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam memertahankan dan mengamalkan Pancasila.
Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Benny Susetyo mengatakan, terkait pendidikan ada sejumlah hal yang penting diperhatikan. Di antaranya pentingnya pengenalan macam-macam agama lokal kepada anak-anak sejak dini.
“Tidak lagi (secara) doktrinal, tetapi (menjadi) habitus,” sebut Benny.
Selain itu, pendidikan di Indonesia mestinya bersifat multikultur sejak pendidikan dasar. Lantas mulai membangun ekosistem dan bukan hanya bersifat doktrin.
Riset SETARA Institute itu, pada bagian akhirnya memberikan rekomendasi umum untuk mengarusutamakan pemerintahan inklusif. Hal ini dilakukan sebagai pelaksanaan negara Bhinneka Tunggal Ika.
Kepala negara, sebagaimana dikutip dalam rekomendasi riset tersebut harus mengeluarkan regulasi payung. Ini dibutuhkan agar seluruh kementerian atau lembaga negara dan pemerintahan daerah dapat menginklusi, mengakomodasi serta melindungi hak dan kepentingan seluruh suku, agama, ras, dan golongan di Indonesia.