Mencetak ”Master” Integritas Antikorupsi
Membangun integritas itu harus hari demi hari, jangan pernah berhenti. Ketika itu berhenti, ya, kehidupan berhenti, peradaban berhenti.
Jalan-jalan ke Pasar Minggu,
jangan lupa membeli kertas.
Kalau ingin Indonesia maju,
jadilah master yang siap membangun integritas.
Begitu pantun yang dibacakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang saat membuka acara Temu Aksi Penyuluh Antikorupsi 2019 pada Rabu (11/12/2019) di Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan. Acara itu merupakan rangkaian kegiatan Hari Antikorupsi Sedunia (Harkodia) bertemakan ”Bersama Melawan Korupsi Mewujudkan Indonesia Maju”.
”Membangun integritas itu harus hari demi hari, jangan pernah berhenti. Ketika itu berhenti, ya, kehidupan berhenti, peradaban berhenti,” ujar Saut di hadapan 150 penyuluh dari sejumlah daerah.
Para penyuluh antikorupsi, kata Saut, disebut dengan ”master” karena para pendiri menganggap penyuluh adalah guru. Seperti dalam dunia persilatan, guru dipanggil dengan sebutan master, artinya mereka ahli di bidangnya.
Saat dibentuk pada 2017, penyuluh antikorupsi berjumlah 67 orang, kemudian bertambah 342 orang (2018) dan 418 orang (2019). Total hingga saat ini ada 827 penyuluh dari rentang usia 17 tahun sampai 79 tahun yang berasal dari beragam latar belakang, yakni guru, dosen, mahasiswa, pegawai kementerian dan lembaga, serta masyarakat umum.
Membangun integritas itu harus hari demi hari, jangan pernah berhenti. Ketika itu berhenti, ya, kehidupan berhenti, peradaban berhenti.
Penyuluh akan mengikuti pelatihan dan nantinya diberikan sertifikat dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Mereka yang mendapat sertifikat artinya cakap dan kompeten dalam berbicara soal antikorupsi dan memang memiliki renjana atau passion.
Idealnya, semua rakyat Indonesia menjadi master. Meski, memang, penyuluh antikorupsi tetap berpotensi untuk ”digoda”. Untuk itu, KPK terus menjaga penyuluh dengan komunikasi dan pertemuan.
”Saya pikir, seleksi alamnya akan berjalan natural (alami). Kalau mereka punya niat lain selain membangun integritas, pasti enggak akan sustained (berlanjut). Oleh sebab itu, saya menegaskan bahwa rompi yang mereka pakai itu adalah lambang (integritas). Mereka harus dijaga dan di-upgrade terus dengan isu terbaru,” tutur Saut.
Koordinator Pusat Edukasi Antikorupsi Dian Novianthi menyampaikan, pemberantasan korupsi adalah kerja bersama karena merupakan kejahatan sistemik dan serius. Bahkan, tidak banyak masyarakat menyadari bahwa mereka adalah korban korupsi.
Menyubsidi koruptor
Hasil kajian dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan, dari data KPK 2013, kerugian negara dari korupsi di sektor sumber daya alam sebesar Rp 10,21 miliar. Namun, biaya sosialnya justru lebih besar dari nilai korupsi itu, yakni Rp 923,21 miliar.
Begitupun di sektor perdagangan, kerugian negara sebesar Rp 5,24 miliar, sementara biaya sosial mencapai Rp 218,24 miliar.
Adapun korupsi di sektor kesehatan dengan jumlah kerugian negara Rp 26,67 miliar, sedangkan biaya sosial mencapai Rp 75,57 miliar. Kemudian, di sektor transportasi, kerugian negara sebesar Rp 3,87 miliar, sementara biaya sosial hingga Rp 9,7 miliar.
Baca juga : Sistem Politik Perlu Direformasi
Biaya sosial dari hasil korupsi inilah yang akan ditanggung oleh anak cucu kita di masa mendatang. Artinya, masyarakat, bahkan generasi mendatang, menyubsidi para koruptor.
”Peringatan Hari Hak Asasi Manusia rasanya berdampingan dengan Harkodia ini karena memang korupsi mengambil hak dasar manusia untuk mendapat pekerjaan dan layanan kesehatan. Karena itu, ini adalah peran bapak ibu untuk menyadarkan masyarakat bahwa mereka adalah korban korupsi,” ujar Dian.
Biaya sosial dari hasil korupsi inilah yang akan ditanggung oleh anak cucu kita di masa mendatang. Artinya, masyarakat, bahkan generasi mendatang, menyubsidi para koruptor.
Saksi dan mata-mata KPK
Naryanto (58), penyuluh dari Boyolali, Jawa Tengah, menceritakan pengalamannya yang pernah menjadi saksi untuk koruptor di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 2011. Kasusnya terkait dengan pengadaan barang dan jasa untuk proyek pembangunan bendungan yang akhirnya mangkrak karena korupsi.
”Pengusaha dan kepala daerahnya sudah dibui. Waktu jadi saksi itu, deg-degannya enggak karuan karena bisa saja saya juga menjadi terdakwa. Saya tidak ingin teman-teman aparatur sipil negara seperti itu,” ujar Naryanto, pensiunan aparatur sipil negara (ASN) di unit layanan pengadaan Pemerintah Kabupaten Boyolali.
Menurut dia, memberantas korupsi harus diawali dari teladan pimpinan yang tidak menyalahgunakan wewenangnya. Dengan begitu, budaya korupsi di tubuh ASN perlahan-lahan akan hilang.
Pengalaman lain dari Intan Hestika (34) yang merupakan penyuluh dari Klaten, Jawa Tengah. Sebagai guru di Taman Kanak-kanak BA Aisyah Kajen, Klaten, ia berhasil mengimplementasikan pendidikan karakter antikorupsi di sekolah-sekolah.
Dengan mengajak teman-teman penyuluh lainnya, Intan mengaudiensi kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk dibuatkan peraturan gubernur (pergub). ”Gayung bersambut, Pergub Nomor 10 Tahun 2019 tentang Implementasi Pendidikan Karakter Antikorupsi di Jawa Tengah diterbitkan,” ujar Intan.
Peduli itu harus dimulai dari diri sendiri. Meski saya sempat dituduh sebagai mata-mata KPK, tapi tetap harus berani untuk melawan korupsi.
Selanjutnya, Bupati Klaten pun menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 68 Tahun 2019 untuk jenjang usia dini hingga sekolah menengah pertama. Dengan begitu, pendidikan antikorupsi masuk dalam setiap jenjang pendidikan.
”Peduli itu harus dimulai dari diri sendiri. Meski saya sempat dituduh sebagai mata-mata KPK, tapi tetap harus berani untuk melawan korupsi,” kata Intan.
Baca juga : Komplikasi Kronis Korupsi Kepala Daerah