Sempat menjamur di banyak tempat setelah diluncurkan pada 2008, tetapi dalam perkembangannya satu demi satu kantin kejujuran berguguran. Kejujuran menjadi hal yang sulit di negeri ini.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA/INSAN ALFAJRI/KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
Program kantin kejujuran di sekolah dan instansi-instansi pemerintah sempat menjadi harapan untuk menumbuhkan budaya antikorupsi. Namun, harapan itu dengan mudahnya pupus. Banyak kantin kejujuran justru bangkrut. Pedagang harus merugi karena begitu kuatnya ketidakjujuran.
Sekitar empat tahun silam, Kejaksaan Tinggi Jakarta menginisiasi pendirian kantin kejujuran di SMAN 29 Jakarta, di kawasan Kebayoran Lama. Seperti namanya, kantin mengedepankan kejujuran pembelinya. Pembeli membeli barang di kantin itu, kemudian mencatatkan barang yang dibeli dan memasukkan uangnya ke dalam kotak yang sudah disediakan. Tidak ada pedagang atau pengawas di kantin tersebut.
Namun, dalam perjalanannya, barang-barang di kantin, seperti biskuit, permen, coklat, dan kue, diambil tanpa dicatat apalagi dibayar oleh pembelinya.
Pihak sekolah sampai harus mengingatkan siswa untuk membayar barang-barang yang mereka ambil dari kantin kejujuran. Diberi peringatan, sejumlah siswa lantas membayarnya. Selanjutnya kantin kejujuran tetap beroperasi sekalipun masih ada saja siswa yang mengambil tanpa membayar.
Tiga bulan lalu karena renovasi sebagian sekolah, kantin terpaksa ditutup. Namun, demi menumbuhkan budaya antikorupsi, pihak sekolah berencana akan mengoperasikannya kembali setelah renovasi tuntas.
”Ya, walaupun masih ada saja yang tidak jujur, kami tetap berupaya mengoperasikan terus kantin kejujuran. Ini upaya kami untuk menumbuhkan kejujuran sekaligus budaya antikorupsi pada siswa,” tutur Kepala Humas SMA Negeri 29 Jakarta Rismawati saat ditemui Kompas, Jumat (6/12/2019).
Berbeda dengan di SMAN 29, kondisi kantin kejujuran di SMAN 70 Jakarta, kawasan Kebayoran Baru, justru tinggal kenangan. Kantin diresmikan oleh Kejaksaan Agung bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi, 9 Desember 2008, tetapi hanya mampu bertahan hidup beberapa tahun. Sama seperti di SMAN 29, banyak yang mengambil tanpa membayar.
Koordinator Kantin SMAN 70 Jakarta Lis Nuryani mengatakan ketidakjujuran sudah tampak saat kantin baru dioperasikan. ”Setelah menghitung uang yang masuk, jumlahnya tidak sesuai dengan barang yang diambil,” kenang Lis.
Dalam sebulan, kerugiannya sekitar Rp 200.000. Meski merugi, pihak sekolah coba mempertahankannya karena tujuan baik dari program tersebut. Untuk itu, pihak sekolah bersedia mengganti kerugian itu. Hanya kerugian terus terjadi setiap hari, setiap bulan, selama lima tahun lamanya. Akhirnya pihak sekolah menyerah, dan kantin kejujuran pun ditutup.
”Kejaksaan Agung juga sudah tidak begitu menggalakkannya lagi, akhirnya kantin kejujuran hilang dengan sendirinya,” tambah Lis.
Kini kantin kejujuran telah berganti menjadi kantin sehat. Ada pedagang yang menjaga sepanjang kantin itu buka sehingga setiap siswa yang membeli di kantin, dipastikan tak akan lari dari tanggung jawabnya.
Hal serupa terlihat di SMAN 6 Jakarta, Jalan Mahakam, Kebayoran Baru. Seorang ibu pemilik kantin di SMA 6 Jakarta bercerita, kantin kejujuran sudah lama tutup karena bangkrut.
”Gimana enggak bangkrut, kantin yang ada ada penunggunya seperti ini saja masih ada yang nyelonong (tidak bayar),” kata ibu yang sehari-hari menjual makanan ringan tersebut.
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2008, ada sekitar 1.000 kantin kejujuran yang didirikan di sekolah-sekolah negeri. Jaksa Agung kala itu, Hendarman Supandji, berharap, hadirnya sikap jujur dapat dimulai dari hal-hal terkecil.
Tidak hanya di sekolah-sekolah, kantin kejujuran juga jamak dibangun di instansi-instansi pemerintah. Tujuannya sama, ingin menumbuhkan budaya antikorupsi di kalangan aparatur sipil negara. Namun, nasibnya serupa seperti kantin kejujuran yang ada di sekolah-sekolah.
Salah satunya seperti di Kejaksaan Agung. Tidak hanya mendorong sekolah-sekolah untuk mendirikan kantin kejujuran, instansi penegak hukum itu juga mendirikan kantin kejujuran di instansinya pada 2008. Posisinya berada di depan Gedung Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung.
”Sudah dihapus, Mas. Sudah lama, sudah tiga tahunan kalau tidak salah,” kata Sukarto, salah satu pegawai di Kejaksaan Agung.
Bahkan menurut salah satu karyawan koperasi di Kejaksaan Agung, kantin kejujuran itu tak pernah betul-betul dioperasikan. "Formalitas saja itu," katanya.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menyayangkan program kantin kejujuran yang tak berhasil. Apalagi, itu diterapkan di sekolah dan instansi pemerintah yang semestinya menjadi laboratorium uji coba disiplin untuk membangun budaya antikorupsi.
Meski demikian, menurut dia, upaya membangun norma tersebut semestinya tidak boleh berhenti. Kunci keberhasilannya ada pada konsistensi untuk membangun budaya antikorupsi.
Untuk memperkuat pembangunan budaya, harus ada pula pengarusutamaan wacana antikorupsi di ruang publik. Salah satunya dengan memopulerkan praktik kejujuran baik di media massa maupun media sosial.
”Kontestasi diskursus itu harus ada di ruang publik, jangan hanya mempermalukan para pelanggar hukum, tetapi harus pula mengekspos orang-orang yang tertib. Kita perlu memberikan insentif kepada orang-orang yang jujur,” kata Arie.
Dalam arti kata lain, budaya antikorupsi selama ini belum mengakar. Penindakan yang intens terhadap para koruptor selama ini belum cukup kuat untuk membuat orang takut korupsi, apalagi menumbuhkan budaya antikorupsi.
Hal itu tampak pula dari skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang cenderung stagnan dengan skor 37 dari skala 0 hingga 100 pada 2016 dan 2017. Skor Indonesia hanya naik satu tingkat menjadi 38 pada 2018. Temuan itu berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII). Skor 0 menunjukkan sangat korup, sedangkan 100 menandakan bersih dari korupsi.
Peringatan Hari Antikorupsi kali ini, 9 Desember 2019, hendaknya menjadi momentum bagi segenap pihak untuk mengevaluasi cara-cara memberantas korupsi. Pemberantasan yang tetap bertumpu pada aspek pencegahan tanpa meniadakan penindakan yang tegas terhadap para koruptor.