Pemerintah Tetap Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Dari 11 daftar kasus yang telah diselidiki Komisi Nasional HAM, tidak semuanya layak dilanjutkan ke pengadilan. Pemerintah pun masih memetakan kasus-kasus ini.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyatakan tetap berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu melalui jalur yudisial dan ekstrayudisial. Meski demikian, pemerintah belum juga memetakan kasus-kasus yang akan diselesaikan menggunakan jalur pengadilan dan luar pengadilan tersebut.
Hal itu disampaikan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim seusai Diskusi Fokus dan Terarah terkait Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Rabu (4/12/2019). Diskusi itu, antara lain, dihadiri Menko Polhukam Mahfud MD, Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi, Staf Khusus Presiden Dini Shanti Purwono, Sekretaris Jenderal Suluh Kebangsaan Alissa Wahid, dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro.
Ifdhal menyatakan, Presiden memberikan tugas utama kepada Menko Polhukam untuk menuntaskan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. ”Dalam pikiran Pak Mahfud, tetap dua mekanisme yang digunakan, yudisial dan ekstrayudisial, melalui UU KKR yang dibatalkan MK tahun 2006,” katanya.
Menurut dia, dari 11 daftar kasus yang telah diselidiki Komisi Nasional HAM, tidak semuanya layak dilanjutkan ke pengadilan. Pemerintah pun masih memetakan kasus-kasus ini. ”Kami masih mengidentifikasi,” katanya.
Mahfud pun membenarkan bahwa pemerintah tetap menggunakan mekanisme yudisial dan ekstrayudisial. ”Pasti dan betul,” katanya singkat.
Adapun 11 berkas kasus pelanggaran HAM berat adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II 1998, peristiwa Talangsari 1989, kerusuhan Mei 1998, Wasior dan Wamena 2000-2003, pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Jambu Keupok Aceh, serta peristiwa Rumoh Geudong, yang juga di Aceh.
Mualimin menjelaskan, identifikasi kasus-kasus HAM menunggu persetujuan RUU KKR di DPR. RUU KKR sudah diusulkan masuk dalam Proglam Legislasi Nasional Prioritas usulan pemerintah. Pada 10 Desember, Prolegnas akan disahkan di DPR.
”Kalau disepakati, nanti dibahas. Pemerintah akan memverifikasi mana saja yang masih bisa diselesaikan secara hukum dan di luar pengadilan,” katanya.
Prinsip penyelesaian
Melampaui mekanisme teknis, kata Alissa, yang terpenting adalah prinsip pemerintah dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Baginya, aspek keadilan adalah yang paling utama.
”Sebab, sebagaimana kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi,” katanya.
Siti Zuhro menambahkan, Indonesia sangat mendambakan kepastian hukum terkait dugaan pelanggaran HAM berat. Jangan sampai kasus-kasus ini terus menjadi komoditas politik. Dari pemilu ke pemilu, lanjutnya, penyelesaian dugaan pelanggaran HAM selalu mendapat sorotan.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera menyelesaikan hal itu, terlepas dari mekanisme apa yang akan digunakan. ”Nanti masuk pemilu, diembuskan lagi isu ini. Itu sangat tidak mendidik dalam iklim demokrasi,” katanya.