GBHN Dinilai Bisa Wujudkan Kesinambungan Pembangunan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinilai tak efektif karena tidak menjamin keterpaduan dan kesinambungan pembangunan. Untuk itu, Indonesia membutuhkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinilai tak efektif karena tidak menjamin keterpaduan dan kesinambungan pembangunan. Untuk itu, Indonesia membutuhkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara.
”Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak diberlakukan lagi setelah reformasi 1998. Sebagai gantinya, panduan rencana pembangunan pemerintah mengacu pada Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Namun, SPPN ini kurang efektif,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam diskusi ”Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-cita Nasional dengan Paradigma Pancasila”, Jumat (22/11/2019), di Jakarta.
Diskusi yang diselenggarakan Aliansi Kebangsaan dan Forum Rektor Indonesia itu dihadiri, antara lain, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, Sekretaris Jenderal Forum Rektor Indonesia Darsono, dan Direktur Sekolah Pancasila Yudi Latif.
Pontjo menjelaskan, dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN, secara garis besar, tata cara perencanaan pembangunan nasional dibedakan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk jangka waktu 20 tahun dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk jangka waktu 5 tahun. Akan tetapi, setelah berjalan sejak 2005, SPPN meninggalkan sejumlah catatan.
Menurut Jimly, SPPN sangat bias presidensialisme karena lebih merupakan elaborasi dari janji kampanye presiden terpilih.
Lantaran masa jabatan presiden paling lama hanya 10 tahun, tidak mengherankan jika presiden penerusnya tak merasa terikat melanjutkan kebijakan dan program presiden sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan tidak ada kesinambungan dalam perencanaan pembangunan nasional.
Selain itu, SPPN juga dinilai bias negara dan bias eksekutif. Hampir semua istilah yang digunakan adalah istilah pemerintahan. Masa depan lembaga negara lain, seperti pengadilan, MPR, dan DPR, juga tak ada. Fungsi dan peran negara sangat dominan dan menutupi sektor lain yang sebenarnya juga berperan sebagai penggerak pembangunan negara.
”Tidak terbayangkan dunia usaha 20 tahun lagi seperti apa. Lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat madani, kan, punya peranan sendiri. Jadi, aktor dalam menggerakkan pembangunan negara bukan hanya negara,” kata Jimly.
Jimly menambahkan, SPPN juga bias ekonomi. Ia menuturkan, perencanaan pemerintah sekarang lebih banyak dilakukan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Di Bappenas, iklim diskusinya adalah iklim birokratis. Adapun perspektif para perencana di Bappenas itu, kata Jimly, lebih kental dalam sudut pandang ekonomi sehingga kurang mengakomodasi pemikiran-pemikiran dari perspektif hukum dan kebudayaan.
Peran partai
Dengan SPPN, arah pembangunan nasional sangat ditentukan oleh visi-misi presiden terpilih yang hanya berlangsung lima tahunan. Penyusunan visi-misi presiden acap kali disusun secara terbatas oleh partai pengusung yang tidak fokus pada bagaimana negara dibangun dalam jangka panjang. Masyarakat tak diberi ruang untuk turut berpartisipasi merumuskan rencana pembangunan negara.
Darsono mengemukakan, sering kali terjadi pemerintah menyusun perencanaan atau program untuk membangun citra dan bukan dalam tujuan mengatasi ketertinggalan dengan bangsa lain. Akibatnya, di tingkat Asia Tenggara saja Indonesia masih tertinggal dari Vietnam dalam hal produk-produk pertanian. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya di kisaran 5 persen juga bukan digerakkan produksi, tetapi lebih pada konsumsi.
Minimnya partisipasi publik untuk merumuskan perencanaan pembangunan kerap membuat agenda pembangunan lebih banyak merespons hal-hal mendesak berjangka pendek. Respons itu tak jarang bersifat tambal sulam atau mengabaikan persoalan-persoalan fundamental yang berjangka panjang.
”Pengabaian hal-hal fundamental itu sesungguhnya yang menjadi penyebab kemunculan aneka kelemahan, ketimpangan, dan ketertinggalan pembangunan kita yang melahirkan beragam ekspresi kekecewaan sosial,” kata Pontjo.
Yudi berpendapat, Indonesia kini tidak memiliki perencanaan jangka panjang yang memadai. Selain itu, pemerintah dinilai tak punya sensitivitas terhadap krisis yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Oleh karena itu, Yudi menyebut, GBHN bisa menjadi konsensus bersama. Ia mencontohkan bagaimana negara-negara Skandinavia bisa lolos dari pengaruh kesenjangan yang diakibatkan neoliberalisme. Konsensus bersama dalam jangka panjang itu mampu memagari cita-cita nasional dari penetrasi pemimpin politik yang pergerakannya cenderung sangat liar.
Jimly mengutarakan, GBHN merupakan konsensus bersama karena melibatkan partisipasi semua pihak. Jika nantinya dihidupkan kembali, Jimly meyakini GBHN tidak akan menghambat kreativitas presiden. Namun, hal itu dengan catatan pengaturan oleh GBHN tidak terlampau detil, tetapi lebih pada prinsip-prinsip pemanduan bagi presiden.
Menghidupkan kembali GBHN membuka peluang amendemen UUD. Jimly sepakat dengan keinginan partai-partai besar di parlemen yang menghendaki pembuatan GBHN dengan ketetapan MPR (Tap MPR) dan bukan UU. Namun, ia meminta pembahasan amendemen tak sampai merambat pada hal lain.
Lembaga negara yang membuat GBHN tak otomatis membawahi presiden. Caranya, status Tap MPR dibuat bukan sebagai regulasi, melainkan sebagai keputusan administrasi saja.
”Dengan demikian, dia tak memerlukan hierarki. Ini aturan kebijakan (policy rules) saja meskipun istilah yang dipakai adalah Tap MPR,” kata Jimly.