Ruang Kusuma Atmadja I di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/11/2019), berubah riuh. Majelis hakim yang dipimpin Hariono memutus bebas mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir yang selama enam bulan ini menghabiskan waktu di dalam rumah tahanan yang berada di belakang Gedung KPK, Jakarta.
Sofyan yang duduk di kursi terdakwa spontan menengadahkan tangan, tanda syukur. Di sisi kiri, tim jaksa penuntut umum masih terdiam setelah tuntutan pidana 5 tahun penjara yang diajukan dengan analisis yuridis dan pembuktiannya dimentahkan majelis hakim secara bulat.
Dalam pengembangan perkara korupsi pembangunan PLTU Riau-1, Sofyan dinilai tak terbukti membantu bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan politisi Golkar, Idrus Marham, memperoleh suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo. Peran Sofyan yang disebut jaksa mengakibatkan percepatan kontrak pembangunan pembangkit listrik untuk Kotjo juga dinilai tak sesuai.
Ini bukan pil pahit pertama untuk KPK terkait vonis korupsi. Sebelumnya, pada 2011, mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Saat itu, Mochtar dituntut jaksa dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan. Mochtar juga diminta membayar uang pengganti Rp 639 juta subsider 2 tahun penjara.
Mochtar berurusan dengan KPK karena menerima uang Rp 639 juta dari sejumlah SKPD yang ditugaskan mengumpulkan dana guna memuluskan pengesahan APBD 2010. Uang Rp 3,5 miliar berhasil terkumpul. Selain diberikan kepada Mochtar, uang dibagikan kepada para anggota DPRD Kota Bekasi hingga akhirnya APBD 2010 disahkan.
Merasa yakin dengan bukti yang dimiliki, KPK segera mengajukan kasasi. Pada 2012, majelis hakim yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota Krisna Harahap dan Leopold Luhut Hutagalung membatalkan putusan bebas itu. Mochtar dipidana penjara 6 tahun dengan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 639 juta.
Enam tahun berselang, vonis bebas atas perkara yang ditangani KPK terjadi lagi. Pengadilan Tipikor Pekanbaru membebaskan Bupati Rokan Hulu Suparman yang terjerat kasus korupsi delapan bulan setelah dilantik. Saat itu, ia ditetapkan sebagai tersangka suap terkait pengesahan APBD 2014 dan 2015. Kasus itu terjadi saat dia masih menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Rokan Hulu.
Jaksa pun mengajukan tuntutan pidana penjara 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta, tetapi kandas. Namun, pada akhir 2017, majelis kasasi MA yang terdiri dari Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap membatalkan putusan tingkat pertama itu. Suparman dihukum 6 tahun penjara, hak politiknya pun dicabut selama lima tahun.
Upaya hukum kasasi pun menjadi pilihan KPK terkait vonis bebas Sofyan yang baru saja dijatuhkan. Oce Madril dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM menyampaikan, hal ini akan menjadi ujian bagi MA untuk menjaga kepercayaan publik dengan menghasilkan putusan yang obyektif, terutama terkait dengan kasus korupsi.
”Masyarakat bisa tak percaya pada penegakan hukum yang ada,” ujar Oce.
Setahun terakhir, MA mengurangi hukuman sejumlah pelaku korupsi, juga melepas terdakwa dari tuntutan pidana. Akankah tren serupa terus berlanjut? (Riana A Ibrahim)