JAKARTA, KOMPAS - Hubungan antara negara dan agama menjadi dinamika khusus yang penting diperhatikan setelah kontestasi Pemilu 2019 berakhir. Keterbelahan dalam kutub oposisi biner yang tidak terjadi dalam praktik politik, idealnya juga bisa dipersepsi serupa oleh masyarakat.
Hal tersebut muncul dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Centre for Dialoque and Cooperation among Civilizations (CDCC) dengan tema “Rekonsiliasi Nasional: Apa, Untuk Apa, dan Bagaimana?” Rabu (30/10/2019) di Jakarta. Hadir dalam diskusi tersebut adalah Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR dari Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, dan Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq. Diskusi juga dihadiri Ketua CDCC Din Syamsuddin, akademisi Chusnul Mar’iyah, dan Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar Ulla Nuchrawaty.
Menurut Ahmad, rekonsiliasi setelah Pemilu 2019 mesti dipahami dari tiga perspektif yaitu sudut pandang politik, sosial, dan ideologi. Ketiganya masing-masing memiliki tiga dimensi konflik, dengan konflik ideologi yang relatif memiliki tantangan lebih besar untuk diselesaikan. Adapun konflik sosial dan konflik politik, imbuh Ahmad, cenderung lebih mudah selesai. Misalnya, konflik politik tidak lagi terjadi setelah pihak-pihak yang saling berkontestasi sepakat untuk menjadi mitra koalisi. Hal ini mengonfirmasi ketiadaan oposisi dalam praktik politik.
Dari sisi regulasi, Ahmad menambahkan bahwa tidak ada satupun aturan yang menjustifikasi keberadaan oposisi. Akan tetapi hal itu tidak menghilangkan sikap kritis partai politik dalam memantau jalannya pemerintahan.
Saling bergabungnya kekuatan politik yang terjadi dari pihak-pihak yang sebelumnya berseteru, imbuh Ahmad, juga menjadi pelajaran kepada masyarakat terutama dalam memaknai bahwa dalam demokrasi, yang terjadi bukanlah permusuhan secara permanen.
“Ini pembelajaran,” kata Ahmad.
Sementara dari perspekrif ideologis, rekonsiliasi terkait dengan relasi antara negara dan agama. Hal ini mewujud pada kemunculan Islamophobia di sementara kelompok dan nasionalisme-phobia di kelompok lain.
“(Ada) Kecurigaan dramatis bahwa kelompok agamis dianggap tidak nasionalis dan (kelompok) nasionalis dianggap tidak agamis,” kata Ahmad.
Padahal, imbuh Ahmad, jika dilihat dari sejumlah dokumen otentik pembentukan negara, pertentangan dan kecurigaan tersebut tidaklah beralasan. Ia mencontohkan hal tersebut seperti dokumen Piagam Jakarta yang berasal dari Soekarno dan belakangan disepakati kaum alim ulama untuk diubah.
Tuduhan bahwa kaum nasionalis tidak agamis, dengan demikian tidak terbukti. Demikian pula sebaliknya, tuduhan kaum agama yang tidak nasionalis juga tidak berdasar.
Sementara Zulkifli menekankan pentingnya mendukung dan memberi kesempatan pada pemerintahan saat ini. Hal ini menyusul telah selesainya keseluruhan proses Pilpres 2019, hingga penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi.
“Nanti kalau tidak pas bisa kritik. Sampaikan kritik yang membangun,” kata Zulkifli.
Ia menambahkan, hal ini terkait dengan tantangan berat yang mesti dihadapi Indonesia Misalnya saja krisis di sebagian wilayah Indonesia, seperti di Wamena, Papua.
Sementara Chusnul, pada kesempatan itu mengingatkan bahwa rekonsiliasi yang sesungguhnya tidak berarti melupakan yang telah terjadi. Ia menyebutkan, hal itu di antaranya terkait dengan isu integritas elektoral.