JAKARTA, KOMPAS - Hak politik mantan politisi Golkar Markus Nari terancam dicabut selama lima tahun setelah menyelesaikan pidana pokoknya. Markus dinilai terbukti memperoleh keuntungan dari proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik dan merintangi penanganan perkara yang sama saat masuk tahap persidangan.
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi juga menuntut Markus Nari dengan pidana badan selama 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, jaksa juga meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk menjatuhkan pidana uang pengganti senilai 900 ribu dollar Amerika Serikat.
"Menyatakan terdakwa Markus Nari telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu alternatif kedua dan tindak pidana merintangi secara tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan perkara korupsi sebagiamana dakwaan kedua alternatif pertama" kata jaksa Andhi Kurniawan saat membacakan berkas tuntutan untuk Markus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (28/10/2019).
Adapun dakwaan yang dimaksud adalah Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 21 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk uang pengganti, Markus diberi tenggat waktu satu bulan setelah perkaranya memiliki putusan berkekuatan hukum tetap. Namun apabila yang bersangkutan tak membayar uang pengganti, maka harta bendanya akan disita dan dilelang sebagai ganti. Sedangkan, jika harga bendanya tak mampu menutup jumlah total uang pengganti, Markus harus menjalani pidana penjara selama 3 tahun.
Salah satu harta benda yang telah disita KPK saat ini adalah satu unit mobil Range Rover seharga Rp 1,4 miliar dan satu unit Alphard seharga Rp 900 juga. Dalam persidangan sebelumnya, Markus mengaku mobil yang dimilikinya bersumber dari tunjangan dan honor sebagai anggota DPR. Akan tetapi, hal itu dinilai jaksa harus dikesampingkan karena tak berimbang dengan penghasilan terdakwa per bulan ditambah honor pembuatan undang-undang.
"Dengan demikian kami penuntut umum berkesimpulan bahwa sumber uang yang dipergunakan untuk Alphard dan pembelian Range Rover secara cash tersebut berasal dari uang fee proyek KTP Elektronik yang diterima terdakwa sehingga selayaknya mobil disita oleh KPK untuk dirampas bagi negara dan diperhitungkan sebagai uang pengganti," ungkap jaksa Ahmad Burhanuddin.
Uang 900 ribu dollar AS yang harus diganti Markus berasal dari Andi Agustinus yang lebih dulu dijatuhi hukuman dalam perkara ini. Pemberiannya dilakukan dalam dua tahap, yakni melalui pejabat Kementerian Dalam Negari Sugiharto dan keponakan Setya Novanto yakni Irvanto Hendra Pambudi Cahyo. Penyerahan melalui Irvanto ini juga disaksikan Novanto.
Mengubah keterangan
Saat persidangan dengan Irman dan Sugiharto telah berlangsung Maret 2017, Markus yang namanya disebut ikut menerima aliran dana dalam dakwaan Irman dan Sugiharto pun melakukan aksinya. Melalui seorang advokat bernama Anton Tofik, Markus memerintahkannya untuk mencari Berita Acara Pemeriksaan miliknya dan milik Miryam S Haryani.
Setelah memperoleh BAP yang dimaksud, Markus memberi tanda dan menuliskan agar sejumlah keterangan dicabut dengan maksud agar Miryam mencabut saat menjadi saksi. Miryam pun mencabut semua keterangannya saat persidangan. Berbeda dengan Sugiharto yang meski sudah memperoleh pesan dari Markus, tetap pada keterangan awal.
"Jika terdakwa merasa tidak menerima uang aliran KTP Elektronik maka seharusnya tidak perlu gusar dan gelisah serta tidak perlu mempengaruhi orang lain untuk tidak memberikan keterangan yang sebenarnya dalam perkara ini yaitu Miryam S Haryani dan Sugiharto. Yang dilakukan terdakwa telah menyulitkan jaksa dalam membuktikan unsur menguntungkan/memperkaya diri sendiri dan orang lain,” kata jaksa Arif Suhermanto.
Ketua Majelis Hakim Franky Tumbuwun pun memberikan kesemptan kepada Markus untuk menyampaikan nota pembelaan pada 4 November 2019