JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP bersama Dewan Perwakilan Rakyat bisa diselesaikan paling lambat pada pertengahan September. Untuk itu, pemerintah terus berkomunikasi intensif dengan DPR, terutama untuk menyelesaikan tiga isu krusial dalam RKUHP yang belum juga disepakati.
Tiga isu krusial yang belum disepakati adalah pasal penghinaan terhadap presiden, kejahatan kesusilaan, dan tindak pidana khusus. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko seusai rapat tim RKUHP pemerintah di Bina Graha, Jakarta, Rabu (14/8/2019), mengungkapkan, pemerintah akan segera menyampaikan usulan rumusan pasal terkait tiga isu kepada DPR pada 26 Agustus.
Dengan begitu, pemerintah mengharapkan pembahasan RKUHP bisa diselesaikan sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir pada 30 September.
”Waktunya memang sangat sempit, tapi kami mencoba membuat timeline, mudah-mudahan pertengahan September, sebelum masa jabatan berakhir, sudah bisa diselesaikan,” kata Moeldoko.
Untuk mengejar penyelesaian pembahasan RKUHP, pemerintah mulai menambah intensitas komunikasi dan lobi ke DPR. Selain itu, pemerintah juga menekankan bahwa penyelesaian penyusunan RKUHP tak hanya menjadi catatan sejarah yang baik bagi pemerintah, tetapi juga parlemen, pakar hukum, dan juga masyarakat sipil.
Selain sudah lama dinanti, KUHP ini juga akan menjadi aturan ketentuan pokok hukum pidana pertama buatan Indonesia. Sebab, selama puluhan tahun, Indonesia menggunakan KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro yang juga tim penyusun dan pembahas RKUHP pemerintah, Muladi, menjelaskan, Indonesia membutuhkan konstitusi hukum pidana baru karena KUHP lama disusun oleh pemerintah Hindia Belanda. KUHP juga perlu diperbaiki agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Indonesia membutuhkan konstitusi hukum pidana baru karena KUHP lama disusun oleh pemerintah Hindia Belanda.
”Filosofi kolonial (dalam KUHP) itu perlu diubah dengan filosofi nasional, bernuansa Pancasila, hak asasi manusia, dan menggunakan prinsip tak hanya pembalasan semata-mata,” ujar Muladi seusai pertemuan tim RKUHP pemerintah.
Terkait pasal penghinaan terhadap kepala negara, Muladi menegaskan, hal itu tetap diatur meski ketentuan tersebut sebelumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Asas persamaan di hadapan hukum menjadi pertimbangan pemerintah tetap mengusulkan agar pasal penghinaan terhadap kepala negara diatur dalam KUHP baru.
”Penghinaan terhadap kepala negara asing yang ada di Indonesia pun dipidana, masa penghinaan kepada negara Indonesia tidak dipidana?” kata Muladi.
Dengan berpegang pada prinsip persamaan di depan hukum, tim pemerintah mengusulkan agar penghinaan terhadap presiden menjadi delik aduan. Hal itu juga diusulkan agar diberlakukan pada penghinaan kepala negara asing yang tengah berada di Indonesia.
Secara terpisah, anggota Panitia Khusus RKUHP DPR, Arsul Sani, menjelaskan, sebenarnya secara politis sudah tidak ada perdebatan mengenai seluruh substansi RKUHP. Baik pemerintah maupun DPR sudah satu suara, termasuk tentang tiga isu krusial yang belum disepakati.
”Secara politis sebenarnya sudah selesai, tinggal rumusan kalimatnya yang masih belum disetujui bersama,” ucapnya.
DPR juga berupaya menyelesaikan pembahasan RKUHP sebelum masa jabatan mereka berakhir pada 30 September.
Sementara Guru Besar Hukum Pidana UGM yang juga menjadi tim pemerintah, Edward OS Hiariej, menyampaikan, DPR dan pemerintah masih punya waktu 25 hari untuk menyelesaikan pembahasan tingkat satu. Waktu yang tersisa itu cukup untuk melakukan dua kali rapat tim perumus, satu kali rapat panitia kerja, dan satu kali paripurna. Karena itu, tim pemerintah optimistis, RKUHP yang dibahas sejak tahun 2015 bisa disahkan DPR pada pertengahan September 2019.