Koalisi Kawal Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi segera melayangkan surat terbuka kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Surat ini berisi masukan agar pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara menjadi kewajiban dalam proses seleksi.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Koalisi Kawal Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi segera melayangkan surat terbuka kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Surat ini berisi masukan agar pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara menjadi kewajiban dalam proses seleksi.
"Sebetulnya ini surat biasa, bukan permintaan yang aneh. Dalam surat ini kami menyatakan bahwa ada kewajiban-kewajiban hukum tentang pelaporan harta kekayaan bagi penyelenggara negara yang diamanatkan dalam Undang-Undang," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Undang-Undang yang dimaksud, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Termasuk juga Pasal 29 huruf k Undang-Undang KPK mengenai kewajiban bagi setiap penyelenggara negara yang ingin mendaftarkan diri sebagai Pimpinan KPK mesti patuh dalam pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Asfinawati menyampaikan paparan ini dalam konferensi pers bertajuk “Surat Terbuka kepada Panitia Seleksi Pimpinan KPK terkait Kepatuhan LHKPN”. Hal ini sebagai respon atas pengumuman 40 kandidat Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) yang lolos uji psikologi, namun dinilai masih ada yang belum taat dalam pelaporan harta kekayaan.
Hadir pula sebagai narasumber, antara lain Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana ; Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora ; Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari ; dan Ketua Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Gita Putri Damayanti.
Feri Amsari menyampaikan, Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK seharusnya mencoret Capim KPK yang tidak taat dalam melaporkan LHKPN sedari tahap pendaftaran. Sebab, jika peningkatan harta kekayaan ditemukan meningkat signifikan pada tahap akhir, itu akan kembali menjadi masalah.
“Kalau pada tahap akhir baru diketahui bahwa ada penyelenggara negara yang harta kekayaannya meningkat tidak sesuai dengan pendapatannya, apa yang akan dilakukan? Proses panjang ini akan menjadi mubazir,” ujar Feri.
Data KPK menunjukkan, sebanyak 27 penyelenggara negara pernah melapor, namun tidak mematuhi aturan pelaporan periodik setiap tahun, khususnya tahun 2019. Baik yang tidak lapor periodik ataupun terlambat dari waktu seharusnya. Waktu pelaporan periodik setiap tahun adalah dari 1 Januari - 31 Maret tahun berikutnya.
Dari data tersebut, sejumlah perwira tinggi (pati) Polri yang lolos tercatat tidak mematuhi aturan dalam pelaporan harta kekayaan. Nama-nama itu, antara lain Inspektur Jenderal (Irjen) Antam Novambar dan Irjen Dharma Pongrekum, yang masing-masing melaporkan LHKPN pada Juli dan Mei 2019.
Bahkan, Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol) Juansih dan Brigjen (Pol) Sri Handayani terakhir melaporkan LHKPN pada 2007. Sementara Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto melaporkan LHKPN terakhir pada 2015.
Ada pula Irjen Firli Bahuri yang telah melaporkan LHKPN periode 2018 pada 29 Maret 2019. Namun, sebelumnya berdasarkan data Anti-corruption Clearing House, Firli dinyatakan terakhir melaporkan kekayaan pada 31 Maret 2002. Kemudian Firli kembali melaporkan LHKPN saat dirinya hendak dilantik sebagai Deputi Penindakan KPK pada 2018.
Kurnia Ramadhana menegaskan bahwa potret kerja Pansel Capim KPK saat ini merupakan representasi dari sikap Presiden Joko Widodo. Jika publik banyak yang tidak puas dengan hasil kerja Pansel Capim KPK tentu Presiden Jokowi harus mengevaluasi setiap langkah yang telah dilakukan.
“Jangan sampai citra Presiden Jokowi justru tercoreng karena tindakan keliru yang dilakukan oleh Pansel,” tegas Kurnia.
Surat terbuka yang mewakilkan keberatan dari masyarakat juga akan dikirimkan kepada Presiden Jokowi selaku pemberi amanat kepada Pansel Capim KPK. Dengan harapan ada evaluasi kepada proses tidak taat hukum yang sedang dipraktekkan oleh Pansel Capim KPK.