Struktur kabinet pemerintahan mendatang perlu dipastikan mampu mendorong adanya koordinasi dan sinkronisasi yang lebih baik dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Ramping atau gemuknya kabinet bukan pokok persoalan utama.
Oleh
LKT/CAS/APA/RYO/GER/FLO/IRE/DRI/ILO/A05/A13
·4 menit baca
Catatan Redaksi: Berita ini terbit di halaman 1 harian Kompas edisi 3 September 2014 dengan judul "Utamakan Kemampuan Kabinet dan Sinkronisasi". Foto-foto ditambahkan dari peristiwa setelah berita ini terbit.
JAKARTA, KOMPAS — Struktur kabinet pemerintahan mendatang perlu dipastikan mampu mendorong adanya koordinasi dan sinkronisasi yang lebih baik dalam menyelesaikan berbagai persoalan, baik antar-kementerian, lembaga, maupun hubungan pusat dan daerah. Ramping atau gemuknya kabinet bukan pokok persoalan utama.
Demikian benang merah pandangan sejumlah kepala daerah dan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang dihimpun Kompas hingga Selasa (2/9/2014).
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengatakan, selama ini ada banyak sumbatan antara kebijakan pemerintah pusat dan program-program pembangunan pemerintah daerah.
Sumbatan yang mengakibatkan bottle neck itu terutama disebabkan dua hal, yaitu aturan dan regulasi pusat yang saling tak sinkron dan tumpang tindih. Instansi pusat juga masih mementingkan ego masing-masing.
Oleh karena itu, kabinet nanti pun harus berisikan orang-orang yang satu visi dan misi dengan presiden, selain ahli di bidangnya dan tidak terbelenggu kepentingan partai.
”Kabinet sebaiknya memenuhi empat sehat lima sempurna. Empat sehat, yaitu terdiri atas para menteri yang ahli, dipilih dari orang-orang profesional, tak terbelenggu kepentingan partai, dan memenuhi keterwakilan wilayah atau berasal dari berbagai daerah. Lima sempurna, yaitu memiliki visi dan misi yang satu dengan rekan-rekan menteri dan terutama dengan presiden,” katanya.
Gubernur Lampung Ridho Ficardo yakin daerahnya bisa berkembang dengan lebih baik apabila ada perhatian, kepedulian, dan sinkronisasi kebijakan pemerintah untuk menjadikan Lampung sebagai penyokong pusat.
”Hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus harmonis agar terwujud koordinasi yang baik, sinkronisasi kebijakan, serta kerja sama yang solid. Dengan demikian, pembangunan yang dirancang pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dapat selaras,” katanya.
Struktur masih terpecah
Secara terpisah, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo mengingatkan, restrukturisasi pemerintahan untuk membuat pemerintah ke depan berjalan lebih efektif dan efisien memang tidak cukup hanya dengan mengurangi jumlah kementerian.
Menurut dia, yang utama adalah urusan-urusan di kementerian dan lembaga harus direstrukturisasi supaya terintegrasi dan tidak lagi tumpang tindih.
”Saat ini, struktur organisasi di pemerintah pusat masih terpecah-pecah. Satu urusan, misalnya kemiskinan, bisa ditangani banyak kementerian/lembaga atau tumpang tindih,” kata Eko Prasojo.
Dia mengusulkan restrukturisasi dilakukan dengan dua pendekatan, makro dan mikro. Pendekatan makro adalah dengan menggabungkan kementerian yang ada saat ini. Adapun pendekatan mikro adalah menggabungkan urusan-urusan yang sama di kementerian/lembaga dengan konsekuensi ada direktorat jenderal, yang diintegrasikan atau ditiadakan.
Kajian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, jumlah 34 kementerian, saat ini, bisa dikurangi menjadi berkisar 27 sampai 32 kementerian. Namun, untuk menggabungkan atau meniadakan urusan di kementerian/lembaga itu tidak mudah karena terkait banyak hal.
Salah satunya adalah penempatan baru bagi pejabat dan pegawai yang kementeriannya digabung. Kemudian rancangan anggaran pun harus berubah. Belum lagi merancang urusan-urusan di kementerian baru.
Penggabungan kementerian atau urusan kementerian itu pun harus mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas serta kesanggupan untuk melakukan proses transformasi tersebut dengan waktu yang tidak terlalu lama.
”Jadi, saran saya, tidak terlalu banyak kementerian digabung. Yang perlu lebih banyak dilakukan adalah merestrukturisasi urusan, mengurangi jumlah direktorat jenderal di setiap kementerian,” tuturnya.
Eko mengusulkan agar dalam jangka pendek, pemerintahan baru merestrukturisasi urusan di 13 kementerian yang belum tuntas. Bersamaan dengan itu, pemerintah mengkaji ulang kapabilitas, kelembagaan, kinerja, dan urusan di semua kementerian/lembaga.
Langkah ini seperti yang pernah dilakukan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore saat pemerintahan Presiden Bill Clinton.
”Untuk melakukan kaji ulang itu, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, butuh enam bulan sampai satu tahun. Namun, hasil dari kajian yang komprehensif itu bisa membuat pemerintah lebih efektif dan efisien,” lanjutnya.
Mampu gerakan birokrasi
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri atas 14 organisasi masyarakat sipil juga berpandangan, postur kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla diharapkan lebih mengutamakan kemampuan implementasi visi misi secara efisien daripada jumlah menteri yang akan menjabat.
Keempat belas organisasi itu meliputi Kontras, Walhi, ICW, Solidaritas Perempuan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Public Virtue Institute, Indonesia for Global Justice, Jaringan Advokasi Tambang, Trade Union and Rights Center, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia, Komite Pemilih Indonesia, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, serta Indonesia For Democracy and Development.
”Konsep 34, 27, atau 20-24 menteri perlu dilihat siapa kandidatnya. Apakah calon bisa bekerja efisien dan maksimal dalam, misalnya, 100 hari masa kerja. Itu hal terpenting,” kata Koordinator Kontras Harry Azhar.
Peneliti senior Pol-Tracking Institute Tata Mustasya berpandangan, ramping atau gemuk kabinet pemerintahan Jokowi-JK tidak menjadi pokok persoalan.
”Yang menjadi persoalan adalah, apakah komposisi kementerian itu dapat menggerakkan birokrasi,” ujar Tata.
Faktor figur yang tepat juga jauh lebih penting ketimbang wacana pergantian nama kementerian, penggabungan, atau pemekaran kementerian.
Ia mengingatkan, saat ini, masyarakat, apalagi dunia usaha dan pelaku pasar, sangat menantikan figur yang dipilih Jokowi-JK, bukan jumlah kementerian.