JAKARTA, KOMPAS — Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Inspektur Jenderal Firli dikembalikan kepada Kepolisian Negara RI setelah ditandatanganinya surat oleh pimpinan KPK tertanggal 19 Juni 2019. Akibatnya, kasus pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh Firli tidak bisa dilanjutkan penanganannya.
Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/6/2019), mengonfirmasi pengembalian Firli tersebut. Alasan pengembalian itu berdasarkan surat dari Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian tertanggal 11 Juni 2019 perihal pengembalian penugasan anggota Polri di lingkungan KPK.
”Membaca surat tersebut, disebutkan terdapat kebutuhan organisasi Polri dalam rangka pembinaan karier dan adanya penugasan baru sehingga Polri meminta untuk menghadapkan kembali perwira tinggi Polri tersebut. Pimpinan segera melakukan rapat saat itu untuk membahasnya,” ujar Agus.
Disebutkan, terdapat kebutuhan organisasi Polri dalam rangka pembinaan karier dan adanya penugasan baru sehingga Polri meminta untuk menghadapkan kembali perwira tinggi Polri tersebut.
Rapat pimpinan KPK pun menyepakati pengembalian mantan Kepala Polda Nusa Tenggara Barat itu ke korps Bhayangkara melalui surat tertanggal 19 Juni 2019. Dengan pemindahan ini, artinya Firli hanya sekitar 14 bulan menduduki jabatan Deputi Penindakan KPK terhitung sejak 6 April 2018. Ia menggantikan Inspektur Jenderal Heru Winarko yang pindah menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional.
Sebelum ada surat permintaan dari Polri agar yang bersangkutan dikembalikan ke instansi asal, Firli tengah diperiksa oleh Direktorat Pengawas Internal KPK terkait dengan pertemuannya untuk bermain tenis bersama Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuanku Guru Bajang Zainul Majdi. Pertemuan itu dilakukan pada saat KPK menyelidiki dugaan divestasi PT Newmont Nusa Tenggara kepada PT Amman Mineral Internasional. Zainul menjadi salah seorang pihak yang diperlukan keterangannya.
Akibat pengembalian yang disepakati pimpinan KPK ini, penanganan kasus dugaan pelanggaran etik Firli tidak dilanjutkan.
”Masih dalam proses, tetapi tidak diteruskan karena yang bersangkutan diperlukan untuk penugasan baru di Polri,” kata Agus.
Kondisi ini mirip dengan perkara pelanggaran etik yang dilakukan dua penyidik KPK asal Polri, yaitu Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldi dan Ajun Komisaris Besar Harun terkait penghilangan barang bukti pada kasus suap Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Saat itu, proses pemeriksaan pelanggaran etik masih berjalan. Kemudian ada surat permintaan pengembalian dari Polri.
Akan tetapi, pemeriksaan tetap dilanjutkan hingga diputuskan keduanya melakukan pelanggaran berat dan sanksinya berupa pemulangan. Hal itu disampaikan juga dalam surat pengembaliannya kepada Polri. Posisi Deputi Penindakan KPK pun kini kosong dan akan dilakukan seleksi terbuka untuk mengisinya.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi menyampaikan, pihaknya perlu memastikan terlebih dahulu hal ini kepada Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Mabes Polri. ”Ini urusannya dengan Biro SDM, tentu akan dipastikan terlebih dulu seperti apa,” kata Dedi.